Menata Ulang Hak Politik Dalam Hukum Internasional
Mochammad Farisi, LL.M--
Pemikir liberal seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau memusatkan perhatian pada kontrak sosial. Locke menyatakan bahwa hak politik adalah perpanjangan dari hak kodrati atas hidup, kebebasan, dan milik. Pemerintah ada karena mandat rakyat, dan kehilangan legitimasi bila mengkhianati hak tersebut. Rousseau menambahkan bahwa kehendak umum (volonté générale) harus menjadi dasar legitimasi politik. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi alat kekuasaan segelintir elite.
Menariknya, filsuf-filsuf Islam klasik juga memberikan kontribusi penting terhadap gagasan ini. Al-Farabi, dalam karya besarnya Al-Madinah al-Fadilah (Negara Utama), menegaskan bahwa tujuan politik adalah menciptakan kebajikan dan kesempurnaan moral manusia. Pemimpin ideal menurut Al-Farabi adalah “manusia paling sempurna dalam akal dan etika,” yang mampu membawa masyarakat menuju kebahagiaan sejati (sa'adah), bukan sekadar kesejahteraan materi.
Ibnu Rushd (Averroes), selain seorang hakim agung dan filsuf, juga menekankan pentingnya hubungan antara filsafat, hukum, dan politik. Ia mengkritik sistem kekuasaan yang tidak menjunjung keadilan rasional, dan meyakini bahwa pemimpin harus tunduk pada hukum, bukan berada di atasnya. Bagi Ibnu Rushd, keadilan adalah ukuran utama legitimasi pemerintahan.
Pemikiran para filsuf ini—dari Yunani klasik, filsafat Islam, Kristen, hingga modern Eropa—memiliki satu benang merah: bahwa politik tidak bisa dilepaskan dari etika. Hak politik bukan hanya soal “siapa yang bisa memilih dan dipilih,” tetapi “siapa yang pantas dan layak memimpin.” Karena itu, partai politik tidak boleh hanya menjadi mesin elektoral, tapi harus menjadi pusat kaderisasi moral dan intelektual.
Dalam konteks hukum internasional, reinterpretasi ini bisa diwujudkan melalui pembaruan General Comment No. 25 oleh Komite HAM PBB. Komentar ini perlu ditingkatkan agar tidak hanya menekankan hak warga negara, tapi juga memuat kewajiban moral partai politik untuk melahirkan pemimpin yang bijak, adil, dan berorientasi pada kepentingan umum.Jika tidak, demokrasi hanya akan menghasilkan “kekuasaan tanpa kebijaksanaan”, “pemilu tanpa etika”, dan “wakil rakyat tanpa rasa malu.”
Kita tidak hanya membutuhkan kebebasan memilih, tapi juga jaminan bahwa pilihan itu mengarah pada kepemimpinan yang berintegritas. (*)
*) Penulis Adalah Dosen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Jambi; Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



