DISWAY BARU

Menata Ulang Hak Politik Dalam Hukum Internasional

Menata Ulang Hak Politik Dalam Hukum Internasional

Mochammad Farisi, LL.M--

Oleh: Assist Prof. Mochammad Farisi, LL.M

Hak politik bukan sekadar prosedur elektoral, tetapi juga tanggung jawab moral untuk melahirkan pemimpin yang bijaksana dan berorientasi pada kebaikan bersama.

PEMILU yang bebas belum tentu menghasilkan pemimpin yang bijaksana. Dalam sistem demokrasi modern, hak politik harus ditafsirkan secara substansial—tidak hanya sebagai kebebasan memilih, tetapi juga sebagai tanggung jawab bersama untuk melahirkan kepemimpinan yang bermoral dan adil.

Hak politik sering dipahami sebagai hak formal untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. Namun dalam praktiknya, demokrasi yang terlalu menekankan prosedur seringkali gagal melahirkan pemimpin yang adil dan bijaksana. Kita menyaksikan pemimpin yang terpilih secara sah, tapi justru terlibat korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau bahkan menjadi ancaman bagi hak asasi rakyatnya sendiri.

BACA JUGA:Malam Ini Harga Baru BBM Diumumkan, Berikut Harga BBM di SPBU Tepat Akhir Juni 2025

Sudah saatnya kita menafsir ulang hak politik dalam kerangka yang lebih mendalam dan substansial. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), khususnya Pasal 25, memang menjamin hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Tapi hak ini tak cukup dimaknai sebagai sarana prosedural semata. Ia harus menjadi jalan untuk menghadirkan pemimpin yang mampu mewujudkan bonum commune—kebaikan bersama.

Pandangan ini tidak datang tiba-tiba. Ia memiliki akar panjang dalam filsafat politik klasik dan hukum alam. Socrates mengajarkan bahwa hanya mereka yang memiliki keluhuran jiwa dan pengetahuan tentang kebaikan yang layak memimpin. Ia menolak gagasan bahwa kekuasaan adalah hak siapa saja yang populer. Plato melanjutkan ide gurunya dengan konsep philosopher-king: pemimpin haruslah yang arif, adil, dan mengabdi pada keadilan, bukan kekuasaan itu sendiri.

BACA JUGA:Update Harga Emas di Pegadaian Senin 30 Juli 2025, Hari Ini Kompak Stabil

Aristoteles lebih menekankan dimensi etika dan sosial. Baginya, manusia adalah zoon politikon—makhluk politik yang hanya akan sempurna dalam kehidupan bernegara yang adil. Ia menegaskan bahwa hukum bukanlah sekadar aturan, tapi ekspresi dari akal budi dan keadilan moral. Dari sini kita belajar, bahwa hak politik harus berujung pada keadilan substantif, bukan sekadar keterlibatan prosedural warga.

 

Filsuf Kristen seperti St. Agustinus dan Thomas Aquinas menambahkan bahwa hukum dan politik tidak bisa dilepaskan dari moralitas dan spiritualitas. Politik tanpa iman dan etika hanya akan melahirkan kekuasaan yang semu. Bagi mereka, hukum yang benar adalah hukum yang menuntun manusia pada kebaikan tertinggi, yang bersumber dari kehendak Ilahi.

BACA JUGA:Pelindo Regional 2 Jambi Tanam 400 Pohon Produktif di Desa Pematang Jering

Hugo Grotius, pelopor hukum internasional modern, membawa kita pada prinsip universal hukum alam berbasis rasio. Ia menegaskan bahwa kontrak politik (seperti pemilu atau janji kampanye) mengandung kewajiban moral: pacta sunt servanda—janji harus ditepati. Immanuel Kant memperkuat itu dengan etika deontologis: bahwa setiap tindakan politik harus tunduk pada prinsip moral universal. Dalam pandangan Kant, janji politik yang manipulatif, kampanye penuh tipu daya, atau eksploitasi rakyat untuk kekuasaan adalah bentuk ketidakadilan yang harus ditolak.

BACA JUGA:Kapolres Batang Hari Resmikan dan Serahkan Kunci Bedah Rumah Ibu Rohani

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait