Alih fungsi hutan menjadi kebun sawit, perambahan kawasan lindung, pembalakan liar, serta aktivitas pertambangan—baik legal maupun ilegal—telah mengubah struktur tanah, merusak daerah resapan, dan mempercepat limpasan air ke hilir. Sungai kehilangan daerah penyangga, lereng kehilangan vegetasi penahan, dan tanah kehilangan kemampuan menyerap air.
BACA JUGA:PTPN IV Regional 4 Tanam 2.000 Pohon di Kaki Gunung Kerinci
Gelondongan kayu yang terbawa banjir bandang bukan sekadar “benda hanyut”. Ia adalah indikator ekologis bahwa telah terjadi kerusakan struktural di hulu. Kayu sebesar itu tidak akan terangkut jika hutan masih sehat. Ia hanya muncul ketika pembukaan lahan tak terkendali atau pembalakan liar dibiarkan berlangsung bertahun-tahun tanpa pengawasan.
Di titik inilah isu banjir bandang tidak lagi semata menjadi persoalan bencana alam, melainkan persoalan tanggung jawab hukum negara dan korporasi.
Banjir Bandang sebagai Cermin Kegagalan Tata Kelola
Bencana ini sesungguhnya adalah cermin dari: Lemahnya pengawasan perizinan; Konflik kepentingan dalam eksploitasi sumber daya alam; Ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan; Minimnya efek jera bagi perusak lingkungan.
Jika negara sungguh-sungguh ingin mencegah banjir bandang berulang, maka jawaban utamanya bukan sekadar normalisasi sungai, tetapi penertiban struktur ekonomi-ekologis di hulu.
Selama hutan dianggap sebagai objek ekonomi semata, selama izin tambang dapat diterbitkan tanpa kajian lingkungan yang ketat, dan selama pembalakan liar hanya dihukum pelaku lapangan tanpa menyentuh aktor intelektualnya, maka banjir bandang akan terus menjadi “bencana musiman”.
Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Akibat Hukum bagi Negara bila Gagal
Konstitusi Indonesia (Pasal 28H ayat (1) UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak ini tidak bersifat pasif. Negara memiliki kewajiban aktif untuk mencegah pencemaran dan kerusakan, serta menindak setiap pelanggaran.
Hak ini juga dijamin dalam berbagai instrumen hukum lingkungan nasional dan internasional. Artinya, ketika lingkungan rusak akibat kebijakan perizinan yang keliru, lemahnya pengawasan, atau pembiaran pelanggaran hukum, maka hak asasi warga negara telah dilanggar.
Negara tidak hanya berkewajiban untuk hadir ketika bencana terjadi, tetapi wajib mencegah bencana itu sejak awal melalui kebijakan tata ruang, perizinan yang ketat, dan penegakan hukum terhadap perusak lingkungan. Bila kewajiban itu lalai dijalankan, maka negara dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Dalam perspektif hukum internasional, kewajiban negara untuk mencegah bencana ekologis akibat kerusakan lingkungan bukan sekadar kewajiban moral, melainkan kewajiban hukum yang telah mengikat Indonesia sebagai negara pihak berbagai instrumen internasional. Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 dan Prinsip ke 2 dan 15 Deklarasi Rio 1992 menegaskan bahwa negara memang berdaulat mengelola sumber daya alamnya, tetapi wajib memastikan bahwa setiap aktivitas dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
Kewajiban ini diperkuat dalam Convention on Biological Diversity 1992 yang telah diratifikasi Indonesia, yang mewajibkan negara melindungi ekosistem hutan dan daerah aliran sungai sebagai penyangga kehidupan. Pada saat yang sama, Paris Agreement 2015 mewajibkan negara memperkuat langkah adaptasi dan pengurangan risiko bencana terkait perubahan iklim, termasuk banjir ekstrem.
Kelalaian negara dalam mengendalikan deforestasi, aktivitas tambang, dan alih fungsi kawasan resapan yang berkontribusi pada banjir bandang dengan demikian dapat dipandang sebagai pelanggaran kewajiban internasional yang telah mengikat secara hukum.
Lebih jauh, kewajiban negara untuk melindungi warga dari dampak kegiatan korporasi juga ditegaskan dalam UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs), yang mewajibkan negara melakukan pencegahan, pengawasan, serta penyediaan pemulihan bagi korban.