Secara hukum, Piagam PBB memang bisa diamandemen, termasuk soal hak veto. Namun, prosedurnya sangat berat, terutama terkait reformasi hak veto. Dalam Pasal 108, Amandemen Piagam memerlukan persetujuan dua pertiga anggota Majelis Umum, termasuk semua anggota tetap Dewan Keamanan (P5), yang justru memiliki kepentingan mempertahankan hak istimewanya. Situasi ini menciptakan “lingkaran besi”: sistem yang sudah timpang dijaga oleh mekanisme yang hampir mustahil diubah, praktisnya hak veto P5 tidak bisa dihapus tanpa persetujuan mereka sendiri.
Memang ada beberapa langkah kecil, seperti kewajiban menggelar sidang khusus setiap kali veto digunakan, untuk memberi tekanan moral dan transparansi. Namun, hal ini tidak mengurangi efek absolut veto itu sendiri.
Alternatif Reformasi yang Memungkinkan
Reformasi total mungkin sulit, tetapi ada alternatif yang bisa diperjuangkan: 1) Pembatasan penggunaan hak veto: Misalnya, veto tidak boleh digunakan dalam kasus pelanggaran berat HAM, kejahatan perang, atau genosida (didorong oleh Prancis dan Meksiko sejak 2013). 2) Kewajiban menjelaskan veto: Negara P5 wajib memberikan justifikasi tertulis dan dibahas dalam forum Majelis Umum agar publik menilai rasionalitas dan akuntabilitasnya. 3) Uniting for Peace (Resolusi Majelis Umum 377 A (V), 1950): Jika Dewan Keamanan terblokir oleh veto, Majelis Umum dapat mengambil alih peran untuk merekomendasikan tindakan kolektif.
Secara realitas hukum, amandemen formal hampir mustahil karena P5 tidak akan menyetujui penghapusan hak veto. Namun, secara politik dan praksis, penggunaan hak veto bisa dibatasi dan dipermalukan secara internasional melalui mekanisme Majelis Umum dan tekanan diplomasi multilateral.
Penutup
Hak veto PBB pada dasarnya adalah warisan Perang Dunia II, sebuah hak istimewa yang dirancang untuk menjaga stabilitas global. Namun, dalam realitas hari ini, veto sering kali justru menjadi hambatan perdamaian, terutama ketika digunakan untuk menutup jalan keluar atas penderitaan rakyat yang terjepit konflik.
Selama hak veto tetap dibiarkan absolut, suara mayoritas dunia akan terus bisa dibungkam oleh kepentingan segelintir negara. PBB pun berisiko semakin kehilangan legitimasi sebagai lembaga penjaga perdamaian. Dunia internasional perlu terus mendorong reformasi sekecil apapun, agar hak veto tidak lagi menjadi simbol ketidakadilan, melainkan alat tanggung jawab kolektif demi perdamaian sejati.
*) Penulis Adalah Dosen Hukum Internasional Universitas Jambi & Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia)