Dua dekade telah berlalu sejak gelombang dahsyat tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, meninggalkan jejak duka yang mendalam di hati bangsa Indonesia dan dunia.
Peristiwa ini tidak hanya menjadi salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah, tetapi juga simbol kekuatan, ketahanan, dan solidaritas manusia. Aceh, yang saat itu luluh lantak, kini bangkit menjadi wilayah yang lebih tangguh dengan infrastruktur yang diperkuat dan masyarakat yang lebih sadar akan mitigasi bencana.
Dalam rangka mengenang 20 tahun tsunami Aceh, mengajak kepada seluruh masyarakat untuk lebih waspada terhadap potensi bencana yang bisa datang kapan saja.
Sementara itu, pendekatan non-struktural melibatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui edukasi mitigasi bencana, pelatihan simulasi evakuasi, serta penyediaan jalur dan lokasi evakuasi yang memadai.
“Kita harus memastikan bahwa masyarakat memiliki pemahaman tentang potensi bahaya tsunami, sistem peringatan dini yang efektif, serta kemampuan merespons dengan cepat,” ujarnya.
Sedangkan untuk daerah perkotaan seperti Jakarta, yang memiliki kepadatan penduduk tinggi dan sedimen tanah yang rentan mengamplifikasi goncangan, upaya mitigasi gempa juga mencakup retrofitting atau penguatan struktur bangunan.
“Retrofitting sangat penting, terutama untuk bangunan di kawasan padat penduduk, karena goncangan kuat berpotensi menyebabkan kerusakan masif dan korban jiwa,” tambahnya.
Sedangkan untuk kawasan industri seperti Cilegon, potensi gempa juga dikhawatirkan dapat memicu kebakaran akibat kebocoran bahan bakar atau bahan kimia di pabrik-pabrik besar.