JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO.ID-Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Inondesia membawa harapan baru dalam kasus Mardani H Maming, yang mendapatkan ketidak adilan dalam kasus gratifikasi dan suap saat ia menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Dalam kasus ini Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Kalimantan Selatan, telah memvonis Mardani H. Maming dengan pidana 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta. Mardani juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp110,6 miliar.
Padahal secara gajian sejumlah guru besar seperti, Prof. Dr, Topo Santoso, SH, MH menilai putusan terhadap pengusaha Mardani H Maming terdapat kekhiilafan dari haki, sehingga ia meminta agar terdakwa segera dibebaskan.
Akademisi yang juga menjabat sebagai Tim Asistensi Penyusunan Rancangan UU Pemberantasan Tipikor dan RUU KUHP Nasional ini menyatakan ada beberapa hal yang menunjukkan kekeliruan hakim yang mengadili Mardani H Maming.
“Putusan pengadilan atas Mardani H Maming dengan jelas memperlihatkan kekhilafan atau kekeliruan nyata. Unsur menerima hadiah dari pasal yang didakwakan tidak terpenuhi karena perbuatan hukum dalam proses bisnis seperti fee, dividen, dan utang piutang merupakan hubungan keperdataan yang tidak bisa ditarik dalam ranah pidana,”katanya.
Apalagi, ada putusan Pengadilan Niaga yang ditempuh dalam mekanisme sidang terbuka. Putusan itu menyatakan tidak terdapat kesepakatan diam-diam, karena itu tidak ada hubungan sebab akibat antara keputusan terdakwa selaku Bupati dengan penerimaan fee atau dividen.
“Sehingga tidak terdapat niat jahat (mens rea) pada perbuatan terdakwa. Dengan demikian, Mardani H Maming harus dinyatakan bebas,” kata akademisi yang juga menjadi pengajar pendidikan calon Hakim Tipikor di Mahkamah Agung ini.
Senada dengan itu, Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH, M.Hum juga menyampaikan desakan yang sama.
Profesor yang pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Diponegoro periode 2019-2024, juga menyoroti kekhilafan dalam putusan pemidanaan tersebut.
Ia menyatakan bahwa keputusan Mardani H. Maming selaku Bupati terkait pemindahan IUP dari aspek hukum administrasi adalah sah dan tidak pernah dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang merupakan pengadilan berwenang dalam ranah hukum administrasi.
Melihat Analisa kedua pesohor hukum ini, Ketua Umum HIPMI Sulawesi Tengah Nadier Bajammal, menilai perlunya atensi dari pemerintahan Prabowo-Gibran untuk menjaga keadilan hukum dan tidak membiarkan hukum diintervensi.
“Kami berharap pemerintahan Prabowo-Gibran akan menjaga keadilan hukum dan tidak membiarkan hukum diintervensi atau digunakan untuk menghukum orang yang tidak terbukti bersalah” ujarnya.
Contoh nyata kasus Mardani Maming, dimana tidak ada bukti konkret tetapi tekanan hukum terus diberikan. Dalam hukum, Mardani tidak memenuhi unsur pidana sesuai Pasal 12 huruf b UU PTPK karena kurangnya bukti di persidangan.
“Untuk itu, korban kekeliruan seperti Mardani Maming seharusnya dibebaskan dan nama baiknya dipulihkan untuk menjaga martabat dan integritas hukum Indonesia,” ujarnya.
Pernyataan Nadier ini juga didukung oleh, Tim Anotasi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran saat mempresentasikan kajian mengenai kasus yang menimpa Mardani H Maming