Presiden Terpilih Diharapkan Jadi Panglima Pemberantasan Mafia Pertambangan, Mafia Perkebunan Sawit

Jumat 04-10-2024,18:59 WIB
Reporter : Tim
Editor : Setya Novanto

PONTIANAK, JAMBIEKSPRES.,CO.ID- Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengamanatkan bahwa "bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat."

Implementasi dari pasal ini sering kali menghadapi tantangan besar, terutama dalam konteks pengelolaan sumber daya alam (SDA).

Presiden terpilih, Prabowo Subianto diharapkan menjadi Panglima yang mampu mengurai permasalahan lingkungan dan menindak tegas para pelaku penyimpangan pengelolaan lingkungan tanpa pandang buluh demi SDA yang berdaulat untuk kemakmuran rakyat, bukan masuk pada kantong-kantong segelintir elit politik.

Hal itu mengemuka dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) bertema Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara dalam Berbangsa dan Bernegara: Kedaulatan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Tanjung Pura, Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (3/9/2024).

 

Berbagai persoalan, seperti ketidakadilan dalam distribusi hasil, kerusakan lingkungan, dan korupsi seringkali menghambat tujuan utama kedaulatan SDA.

 

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Pancasila Agus Surono mengatakan, tantangan terbesar dalam pengelolaan SDA adalah masalah deforestasi, pasca-tambang, dan kemiskinan di daerah yang kaya SDA.

 

Deforestasi telah menjadi isu yang terus menerus, hingga mencapai 115.500 hektar per-tahun pada periode 2019-2020. Lubang-lubang tambang terbengkalai. Hingga tahun 2023, terdapat sekitar 3.000 lubang bekas tambang yang belum direklamasi. Ia juga menyoroti ketidakadilan distribusi hasil SDA, di mana daerah-daerah kaya SDA, seperti Papua, justru mengalami tingkat kemiskinan yang tinggi. 

 

“Kemiskinan di daerah kaya SDA masih menjadi persoalan besar bangsa. Pada tahun 2023 masih terdapat 26,5 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Fenomena ini sering disebut sebagai ‘resource curse’ atau kutukan sumber daya, di mana kekayaan alam justru tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat”, katanya.

 

Selain itu, Agus juga menyebutkan regulasi yang ada seperti UU tentang pertambangan dan lingkungan hidup masih kurang relevan dengan tantangan saat ini.

 

Kategori :