50 Petani Perempuan di Muaro Jambi Lawan Perusahaan Sawit

Selasa 12-12-2023,20:01 WIB
Editor : Dona Piscesika

JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO.ID – Sekitar 50 petani perempuan di Desa Sumber Jaya Kabupaten Muaro Jambi, melakukan perlawanan terhadap perusahaan sawit PT PFIL (Fajar Pematang Indah Lestari).

Perlawanan ini menyusul dengan dijatuhkannya vonis hukuman terhadap Ketua Serikat Tani Kumpeh, Bahusni, pidana penjara selama 1 tahun dan enam bulan oleh Pengadilan Negeri Muaro Jambi pada hari Rabu, 6 Desember 2023.

Sebelumnya, Bahusni dituduh melakukan tindakan pencurian kemudian dilaporkan oleh PT FPIL ke polisi.

Masyarakat setempat meyakini bahwa tindakan Bahusni adalah bagian dari hak-haknya untuk mempertahankan tanahnya, namun pengadilan memutuskan untuk tetap menjatuhkan hukuman.

Sebenarnya tak hanya Bahusni, dari data yang dikumpulkan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) wilayah Jambi, setidaknya ada 54 petani yang dikriminalisasi PT FPIL selama kurun waktu 3 tahun terakhir.

Mereka merupakan warga Desa Sumber Jaya dan Desa Teluk Raya. Petani ini terus berusaha mempertahankan lahan seluas 300 hektar yang diklaim PT FPIL sebagai lahan perusahaan.

Melihat diskriminasi yang dialami petani, membuat 50 petani perempuan di Desa Sumber Jaya membentuk komunitas Petani Padek.

PEPA dibentuk sebagai tindakan solidaritas dan perlawanan terhadap diskriminasi yang mereka alami dari PT FPIL.

Pengadilan Dinilai Tergesa-gesa
 
Nukila Evanty, Penasehat Bidang Hukum dan Gender di Asia Centre dan sekaligus ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA), menurut keterangan resmi yang diterima redaksi Jambi Ekspres Selasa (12/12/2023), Nukila menilai putusan pengadilan ini dipandang tergesa-gesa dan dipaksakan oleh banyak pihak.

Katanya, ada banyak kejanggalan yang terdapat dalam salinan putusan yang diterimanya dari Tim Pendamping Hukum dari KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria).
 
“Beberapa poin yang saya nilai dipaksakan dan janggal,” tegasnya.  Poin tersebut diantaranya, di putusan tertulis sidang permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sengeti, sudah dilakukan pada hari Kamis tanggal 30 November 2023, sementara agenda pembacaan duplik baru di tanggal Rabu, 6 Desember 2023, dan pada hari itu juga langsung dibacakan putusan.

Berdasarkan KUHAP putusan hakim,  sebelumnya harus melalui sidang duplik dan kalaupun bypass  sidang duplik harus ditanyakan kepada terdakwa dan kuasa hukumnya apakah bersedia proses sidang dipercepat dengan sidang putusan hakim.

Disamping itu tentunya butuh waktu untuk bisa memutuskan dengan seadil-adilnya. “Poin lain yang saya nilai janggal ini kan tuntutan hanya 1 tahun, seharusnya bisa menggunakan mekanisme restorative justice dan sudah banyak pasal 362 KUHP dan pelanggaran pasal UU Perkebunan menggunakan pasal tersebut” lanjutnya di sela-sela melakukan pelatihan penyadartahuan hukum bagi petani perempuan di Desa Sumber Jaya (9/11).

Riki Hermawan dari Organisasi Bantuan Hukum (OBH) KPA, menyayangkan putusan vonis terhadap Bahusni.
 
“Kriminalisasi terhadap Bahusni ini adalah upaya pelemahan Gerakan Reforma Agraria di Jambi karena Pengadilan Negeri Sengeti terlalu memaksakan putusan dan tidak mempertimbangkan alat bukti yang diajukan Bahusni. Apalagi PT PFIL hingga hari ini tidak dapat membuktikan HGU-nya masuk di Desa Sumber Jaya yang saat ini digarap oleh Serikat Tani Kumpeh,” sebut Riki.

Tuding Perusahaan Ingin Melemahkan Petani
 
Sementara itu, Nurjanah, Ketua Komunitas Perempuan Padek (PEPA) mengatakan, misi penangkapan petani oleh perusahaan sebagai upaya untuk melemahkan perjuangan yang sudah dilakukan, perusahaan mengambil langkah yang salah.

“Mereka berpikir menjatuhkan vonis bersalah pada Bahusni dan menangkap beberapa warga kami bisa membuat kami mundur, mereka salah. Kami petani perempuan akan melawan sampai mati,” katanya.

Tuntutan 50 Petani Perempuan
 
Ada 3 tuntutan 50 petani perempuan yang tergabung dalam Komunitas Perempuan Padek kepada pemerintah.

Pertama, hentikan tindakan kriminalisasi dan intimidasi bagi petani, kedua segera selesaikan kasus konflik lahan antara Desa Sumber Jaya dan perkebunan sawit PT PFIL, dan ketiga hentikan pemblokiran akses pembelian terhadap tandan buah segar sawit yang mereka panen.

Kondisi Desa Sebelum Masuk PT PFIL
 
Jauh sebelum ekspansi perkebunan sawit, keasrian lingkungan Desa Sumber Jaya, Kumpeh Ulu, Muaro Jambi, masih terasa.

Ini tergambar jelas di benak Nyai Mesra (67), warga Desa Sumber Jaya sekaligus anggota Serikat Tani Desa Sumber Jaya Kumpeh Ulu.
 
Aliran sungai dan ekosistemnya terjaga. Berbagai jenis ikan, seperti gabus, serdang, dan toman, mudah ditemukan. Satu tahun sekali, penduduk desa menangkap ikan bersama yang disebut “berkarang”.

“Kemudian ramai-ramai menyantap ikan yang ditangkap itu. Kami juga menangkap ikan menggunakan tangkul. Dulu, kalau banjir, ikan masuk ke permukiman,” ujarnya.
 
Karena ikan berlimpah, sebagian penduduk Desa Sumber Jaya menjadi nelayan, guna memenuhi kebutuhan harian. Selain menggunakan jaring, ada kalanya mereka berburu menggunakan tombak.
 
Penduduk pun memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan minum, memasak, hingga mencuci. “Tahun 1990-an, kami masih menggunakan air dari Sungai Batanghari, sebelum ada perkebunan sawit. Airnya bening. Sekarang bisa dak perusahaan itu balikinnyo lagi dak,” sambung Nurdayang.
 
Lingkungan Desa Sumber Jaya, ditumbuhi aneka pohon yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar: bungur, balam, rotan, meranti, tembesu, punak, dan sebagainya. Masyarakat memanfaatkannya untuk membangun rumah dan fasilitas umum, membuat perahu, hingga membuat anyaman tikar dan ambung.
 
Pemanfaatan hasil alam ini diiringi kearifan lokal dan kesadaran ekologis. Masyarakat hanya menebang pohon yang tua. Pohon muda dibiarkan hidup lebih lama, untuk menghasilkan bunga dan bibit baru.
 
Sebelum mengambil kayu dari alam, masyarakat harus melapor ke tokoh adat dan kepala desa. Masyarakat pun hanya boleh menebang pohon satu tahun sekali, yakni Oktober. Sedangkan proses pengangkutan kayu dari hutan, berlangsung Desember ketika permukaan air naik.
 
Perekonomian masyarakat tentu terbantu karena hasil alam ini. Ambung, kursi, meja, dan barang lain yang dibuat, dijual.

“Kami ni lah jatuh nian, dan sengajo dibenamkan. Kami dituduh pencuri, yang pencuri itu perusahaan. Mencuri lahan kami. Kami ni menduduki lahan mereka bukan skoyong-koyong, banyak proses yang sudah dilakukan. Tapi pihak perusahaan tidak berinisiatif baik, kalau diok mau sawit yang ditanam di, lahan kami, cabut be sawitnyo, balikan lahan kami, sungai kami dan sawah kami,” ujarnya.

Psikolog Beri Pendampingan

Tidak hanya mendapatkan pemahaman hukum, komunitas PEPA juga diberi materi mental healing dari Psikolog Dessy Pramudiani sekaligus Dosen Prodi Psikologi Unja.

Dessy melihat persoalan konflik lahan ini mempengaruhi kehidupan keseharian, traumatic tidak hanya bagi perempuan tapi juga anggota keluarga lainnya seperti anak dan suami.

“Perlu adanya kegiatan yang mendukung untuk meningkatkan kepercayaan diri petani perempuan tersebut, ada beberapa orang yang memang memerlukan konseling pribadi karena mengarah ke gejala depresi,” jelasnya.
 
Nukila menyebutkan inisiatif yang dilakukan organisasinya, Inisiatif Masyarakat Adat, sebagai bentuk penguatan perempuan di wilayah-wilayah yang mengalami konflik tenurial.

“Perempuan paling terdampak dari adanya konflik tenurial seperti ini, di beberapa lokasi kita datangi juga melakukan penguatan-penguatan secara hukum, mental, dan ekonomi. Saya melihat konflik perebutan sumber daya alam yang sama di Rempang, Air Bangi, dan Pangkalan Susu. Perempuan ini berdampak ganda terhadap rusaknya lingkungan, hilangnya sumber penghidupan, obat-obatan. Beberapa perempuan mengeluhkan lebih rentan depresi, sakit secara fisik, dan kehilangan kebahagiaan,” katanya.

Terus Maju di Tengah Konflik

Meski berada dalam situasi konflik, Kelompok Komunitas PEPA masih terus  menggerakkan desa melalui komoditi rempah-rempah.

Yusnidar menatap botol berisi cairan kuning yang bernama eco enzim, enzim multiguna yang dihasilkan dari kulit-kulit buah segar menjawab tingginya harga pupuk untuk lahan pertanian mereka.

Yusnidar baru saja memanen kacang panjang ketika mengikuti pelatihan budidaya rempah-rempah secara organik.
 
Sementara itu, Lisani menyebutkan rempah-rempah seperti jahe, kunyit, serai masih dianggap untuk kebutuhan rumah tangga terutama bumbu masakan. Berbagai olahan jahe bernilai jual tinggi, bisa menjadi sumber peningkatan pendapatan keluarga bagi petani.

“Jangan dinilai ini jahe cuma buat bumbu, ada jahe hitam yang harganya bisa 500 ribu rupiah per kilogram. Kita bisa mulai menanam di setiap rumah ada tanaman rempah-rempah sehingga ke depan bisa jadi kampong rempah dan menarik banyak cuan tentunya,” katanya saat mengisi materi. (*)

Kategori :