Koperasi: Engine Growth Petani Sawit yang Perlu Dihidupkan Kembali

Rabu 12-07-2023,19:19 WIB
Editor : Setya Novanto

Oleh: Wawan Dinawan*

PERKEBUNAN sawit rakyat yang kini mencapat 7,06 juta hektar lahir dan besar dari sebuah program yang dinamakan Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Program ini juga yang menginspirasi masyarakat yang tidak mendapatkan program PIR untuk membangun kebun mereka sendiri. Rasanya tidak berlebihan jika kita menyatakan program PIR inilah yang menjadi entry point berkembangnya perkebunan kelapa sawit rakyat di Indonesia.

Dalam pelaksanaannya, pola PIR ini melibatkan banyak pihak yakni pemerintah sebagai regulator, petani yang diwakili koperasi sebagai penerima program, perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagai pembangun dan penjamin, serta perbankan sebagai penyedia pembiayaan. Kolaborasi ini memberikan dampak yang signifikan bagi perekonomian petani pada khususnya dan pembangunan daerah pada umumnya.

Saat bekerja di Sulawesi dulu, saya berinteraksi dengan kelompok-kelompok tani kelapa sawit dari beberapa desa. Hingga, pada suatu ketika ada kebijakan dimana hanya perorangan, koperasi, dan perusahaan yang diizinkan untuk bermitra dengan perusahaan. Saat itulah saya mengetahui sejarah bahwa asal mula kelompok-kelompok tani ini adalah sebuah koperasi. Ya, koperasi terdegradasi menjadi kelompok tani. Pada perkembangannya, kelompok tani juga perlahan-lahan hilang dari peta bisnis. Para petani tercerai berai dengan individualismenya. Tak ada lagi kelembagaan petani.

Akhir 2016, saya merasa beruntung berkesempatan bertugas di sebuah wilayah di Jambi. Namanya Kuamang Kuning. Sebuah nama yang tidak terlihat secara de jure. Pada sebuah desa, terdapat sebuah Koperasi Unit Desa (KUD) yang menakjubkan. Gedungnya besar, fasilitasnya tidak kalah dari toko-toko besar di kota Bungo. Ada toko sembako modern sampai dengan loket penjualan tiket. Terbangun juga fasilitas untuk pembuatan pupuk. Tentu, fasilitas utamanya adalah pembiayaan dan jual beli Tandan Buah Segar (TBS).

KUD ini lahir dari program transmigrasi dan berkembang signifikan setelah hadirnya program PIR Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Dari 19 desa transmigrasi, hanya satu KUD yang berjalan baik dan signifikan. Pada setiap Rapat Anggota Tahunan (RAT), anggota hadir berduyun-duyun untuk mengambil keputusan tertinggi, sekaligus mendapatkan banyak hadiah sampai dengan beasiswa.

Tidak ada yang bisa membesarkan koperasi selain koperasi itu sendiri. Koperasi tidak bisa bergantung dengan tangan lain baik itu perusahaan mitra, donatur, maupun pemerintah. Idealnya, koperasi bersifat self help atau menolong dirinya sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan peran serta anggota dalam ekonomi  yang hadir secara sukarela.

Prinsip-prinsip koperasi adalah jalan menuju kesejahteraan bersama. Sifat gotong royong dan rasa saling percaya adalah kunci berkembangnya koperasi. Tanpa itu, apalagi ditambah sifat individualisme, koperasi akan hilang ditelan zaman.

Saya berpendapat, koperasi adalah komponen esensial bagi pengembangan petani kelapa sawit dan, umumnya, industri kelapa sawit. Koperasi yang baik akan menghasilkan efisiensi dalam operasional maupun keuangan. Petani sawit yang rata-rata memiliki lahan seluas 2 hektar, tidak memiliki skala ekonomi yang cukup agar dapat tercipta efisiensi. Bersatunya puluhan, ratusan, bahkan ribuat petani menjadi pengali. Skala ekonomi menjadi lebih besar, sebesar jumlah anggotanya.

Petani kelapa sawit, nampaknya perlu berpikir untuk kembali ke masa awal dibangunnya kebun kelapa sawit era PIR. Kembali menjadikan koperasi sebagai engine growth atau mesin pertumbuhan produktivitas dan kesejahteraan petani. Selamat Hari Koperasi. (*)

*) Penulis Adalah Pemerhati Kelapa Sawit

Kategori :