"Sehingga kompetisinya bisa dikatakan perang bintang. Dimana Tokoh-tokoh potensial selama ini sepertinya turun gunung. Sehingga pertarungan penuh dengan tantangan," sebutnya.
Disamping itu, kata Pahrudin, partai lain diluar parlemen juga menambah kompetisinya menjadi alot. Karena partai non parlemen juga memiliki Caelg yang bagus dan punya banyak suara.
"Karena itu pemetaannya harus jelas. Apalagi pemilu 2024, ada 60 persen pemilih milenial, itu artinya orang seperti HBA yang potensial dibandingkan dengan yang lain, tidak boleh besar kepala sehingga tidak lagi menyasar anak-anak muda," ungkapnya.
Sementara itu, pengamat politik Jafar Ahmad mengatakan, apabila pertarungan pemilu 2024 tidak menggunakan sistim proporsional tertutup, maka akan sangat menarik. Karena semua figure yang maju adalah tokoh yang sudah populer.
"Kalau tidak sistim proporsional tertutup, jelas pertarungan akan menarik sekali. Ada banyak figure yang maju, semua punya kemungkinan," ujarnya.
Terkait peluang petahana dan penantang, Ja'far menilai, bahwa petahana yang sudah pernah terpilih lebih dari satu tentu memiliki kantong suara yang mengakar kebawah. Misalnya ada H Bakri, Sutan Adil Hendra, Ihsan Yunus, Saniatul Lativa dan yang lain.
Sehingga, lawan yang paling memungkinkan untuk menjadi penantang adalah mantan kepala daerah. Di NasDem itu ada Sy Fasha, Golkar ada Cek Endra dan AJB, PDIP ada Edi Purwanto dan Safrial.
"Petahana yang lebih dari 1 kali itu jelas sudah mengakar, maka yang paling memungkinkan menjadi penantang adalah kepala daerah atau tokoh yang popularitas sudah bagus," sebutnya.
Menurutnya, petahana dan mantan kepala daerah ini memiliki basis yang terukur. Kepala Daerah itu pendukungnya jauh lebih loyal, tapi skalanya di wilayah masing-masing. Tapi kalau petahana lebih luas dengan jumlah yang mungkin tidak besar," pungkasnya. (aiz)