“Jangan beri presepsi untuk orang yang punya opini pribadi. Manusia mudah bilang buat ini dan itu, tapi nggak pernah mau coba merasa jadi yang dihakimi dan disuruh ini itu”
>>>***<<<
“Lo pernah kepikiran nggak sih, sebenarnya yang namanya bahagia itu yang gimana? Sometimes, gue merasa, dikala momen – momen dimana gue ketawa dan se-happy itu, gue selalu merasa kosong, gue selalu bertanya – tanya, sebenarnya bahagia gue ini nyata atau nggak?” Pagi belum menyingsing sempurnanya, tapi wanita yang ada di meja balik kasir itu sudah memborbardirnya dengan pertanyaan berat. Bahkan penampilan mereka berdua tidak dapat dikatakan layak untuk bekerja, sebab pakaian kucel dan bau asam dari tubuh masing – masing, hasil begadang dari mencari minus perhitungan.
“Ngawur banget pagi – pagi,” Aryakan—sang empu yang diajak bicara, menggelangkan kepalanya tak habis pikir. “Lo kalo mau nanya hal yang berat gitu, tunggu di Dewi datang deh, dijamin bakal banyak kata puitis, nasehat bijak, dan solusi estetik ala manusia – manusia paling terluka.”
Angel terkekeh, Aryakan itu kelewat bodo amat, tahu tidak akan ditanggapi, Angel masih saja tidak kapok bertanya. “Lo jadi orang jangan kelewat cuek, entar pas lo yang butuh solusi dari orang, nggak ada yang mau, nggak enak juga. Lo tau, diabaikan itu..cukup sakit? Dan lo, gue yakin lo itu manusia yang langsung ditinggalkan sama manusia lainnya. Untung aja, hati gue kelewat baik, kalo bisa diukur nih, yakin gue setaraf hati malaikat kurang dikit…”
Aryakan memutar bola mata malas, Angel itu baik, sesuai dengan arti namanya, malaikat. Namun sebaik – baiknya manusia, jelas nggak ada yang sempurna, termasuk Angel. Dibalik sifat kelewat baik dan super ramah milik Angel itu, Aryakan harus kuat pasang telinga, soal Angel yang tidak akan pernah membual tentang dirinya, dia yang beginilah, dia yang begitulah. Kadang kala, Aryakan gemas untuk bilang, “Duh Ngel, cepat sadar dari kenyataan. Soalnya bermimpilah setinggi langit, dan waktu jatuh, jatuh diantara bintang – bintang itu cuma bullshit.”
Aryakan melempar handuk yang akan dipakainya untuk mandi di lantai atas tempat kerjanya, sebab tidak memungkin juga dirinya untuk pulang. Saking terbiasanya, Aryakan merasa, kantornya ini, sudah jadi rumah untuknya, yang tidurlah, yang mandilah, semua serba bisa, minus nggak bisa tebar afeksi sama kekasih hati saja, soalnya terhitung masih dalam ranah ruang publik.
“Jangan lama – lama, gue juga mau mandi!” Peringat Angel, sebelum Aryakan mengilang di balik tangga.
“Aryakan…” Panggil Angel lagi, Aryakan berbalik mentap Angel sebentar, “Apa lo nggak pernah mau mikir, bahagia itu…yang harusnya gimana?” Angel just being Angel, walau tingkah absurdnya jauh diatas rata – rata, dan kata – katanya selalu dikemas dalam canda dan tawa, Aryakan selalu tahu, bahwa perempuan itu selalu serius bertanya perihal hati dan rasa. Manusia labil yang cari validasi dan pembenaran, soal sikap dan tindakannya.
“Kali ini apa?” Tanya Aryakan.
“Gue jatuh hati.” Angel menjeda perkataan sesaatnya, menatap Aryakan sembari tersenyum kecil, “Sama seseorang yang nggak pernah peduli soal rasa dan hati manusia.” Lanjut Angel.
“Tau begitu berhenti, jangan jadi tujuan, untuk seseorang yang nggak pernah ada tujuan.”
“Dan lo kapan? Kapan lo punya tujuan.”
“Sampai gue bisa cari apa yang nggak bisa dunia beri.” Jeda keduanya cukup panjang, sampai Aryakan kembali membuka suaranya, kali ini dengan nada yang lebih dengan dan tegas sarat akan penolakan.
“Cinta itu krusial, punya politik tersendiri katanya, soalnya tiap orang punya strategi, resiko dan caranya masing – masing, Angel. Cinta itu nggak melulu soal dua manusia punya rasa yang sama kemudian punya tujuan yang sama, hidup bahagia dan jadi teman hidup menua. Nggak begitu, Angel.” Aryakan lelah, selalu saja seperti ini, soal argumen mereka yang nggak pernah menemukan titik tengah, soal ia dan hatinya yang selalu bimbang dan sulit ambil keputusan, dan Angel dengan tabitnya yang tak suka berlama – lama dalam hal tak pasti.