Oleh: Mahyudi*
Sah!! Ganjar Pranowo resmi sebagai Capres PDIP. Tepat di akhir Ramadan, Megawati secara langsung mengumumkannya di Istana Batu Tulis Bogor.
Tentu ini kejutan dan tidak banyak yang menduga bahwa Ganjar akhirnya dipilih Megawati menjadi Petugas Partai pengganti Jokowi.
Karena jika menilik kebelakang, Ganjar dan Megawati memiliki hubungan yang pasang surut. Berkali Megawati menyindir dan memperlakukan Ganjar 'tak elok' di ruang publik.
Namun Ganjar tetap menunjukkan sikap tegak lurus ikut arahan Megawati meskipun beragam godaan dari parpol lain bersliweran. Kalau bicara pragmatis dan perasaan, tentu tidak sulit mencari pelabuhan baru untuk memperoleh tiket menuju kursi RI 1. Popularitas OK, pengalaman birokrasi saat ini masih menjabat Gubernur Jawa Tengah, apalagi kalau soal elektabilitas? Hampir semua lembaga survei selalu menempatkan Ganjar sebagai capres unggulan.
Tapi, sepertinya Ganjar sangat memahami Ketum Partainya itu, bahwa untuk mendapat kepercayaan penuh akan ada banyak ujian dan bisa jadi Megawati memang sedang menguji loyalitas Ganjar. Bahwa loyalitas tersebut adalah syarat mutlak untuk menjalankan "misi" selanjutnya yang ingin Megawati amankan. Dan misi ini tak lain adalah demi kepentingan masa depan trah Soekarno di internal PDIP maupun jagad politik Indonesia.
Jadi begini, Penulis menduga setidaknya ada 2 misi rahasia Megawati dengan mencapreskan Ganjar. Pertama, Megawati punya misi mengukir sejarah hattrick di 3 pileg dan 3 pilpres. PDIP sangat digdaya di 2 edisi pileg sebelumnya. Tahun 2014 PDIP meraih 18.95% suara dan 2019 memperoleh 19.33% suara. Tak hanya itu, di ajang Pilpres, sang Petugas Partai PDIP -Jokowi- juga berhasil 2x mempecundangi Prabowo dan Jokowi nyaris tanpa hambatan menjalankan roda pemerintahannya selama 2 periode.
Tidak hanya itu, di edisi pertama pemilu era reformasi PDIP yang lahir sebagai antitesa PDI Pimpinan Soeryadi juga langsung menang pemilu di angka 33.74%.
Memang tak bisa di mungkiri Megawati adalah sosok politisi bertangan dingin. Belum ada satu Ketum Parpol pun yang mampu menyaingi prestasi kemenangannya. Ini belum lagi jika kita singgung soal keberhasilan nya menduduki kursi presiden ya..
Untuk memenuhi ambisi hattrick ini, dari sejumlah pentolan teras PDIP, kayaknya cuma Ganjar yang memenuhi kriteria tersebut. Popularitas Ganjar tidak hanya di Jawa Tengah saja, namun sudah merata di segenap pelosok negeri.
Tak terhitung kelompok-kelompok masyarakat yang mendeklarasikan dirinya sebagai Relawan Ganjar For President. Pun seperti yang penulis urai sebelumnya soal elektabilitas dari berbagai lembaga survei. Dan satu yang paling penting pastinya loyalitas Ganjar kepada Megawati telah teruji.
Misi kedua, memastikan Putri Mahkota Puan Maharani sebagai penerus Megawati di kursi Ketum PDIP. Lah, apa hubungannya dengan Ganjar? Jadi begini ceritanya. Menurut penulis, saat ini ada 3 sosok kuat di PDIP yakni Megawati, Jokowi dan Ganjar. Kenapa di bilang kuat karena hanya mereka bertiga yang punya pendukung di internal PDIP hingga level grassroot.
Jika Megawati tidak ambil langkah taktis untuk kelanggengan trah Soekarno, bisa di pastikan suksesi Ketum PDIP selanjutnya jatuh ke tangan Ganjar. Lho, Jokowi ngga masuk hitungan? Begini kalkulasinya. Antara Jokowi dan Ganjar itu ibarat matahari tenggelam dan matahari terbit. Memang saat ini Jokowi Presiden tapi hanya sampai 2024. Setelah itu Jokowi akan menjadi rakyat dan kader biasa PDIP. Masanya Jokowi sudah lewat sedangkan masanya Ganjar baru mulai muncul di ufuk timur. Karakter Jokowi yang kalem dan patuh bukanlah ancaman serius bagi Puan untuk menduduki kursi PDIP 1. Sedangkan Ganjar yang kilaunya mulai tampak tentunya sudah dipertimbangkan Megawati.
Dugaan Penulis bahwa ada klausul "Puan untuk PDIP 1" di dalam pakta komitmen loyalitas Petugas Partai yang harus di pegang Ganjar jika mau di capreskan PDIP. Simpelnya, Ganjar For President dan Puan For PDIP 1. Ini sebuah titik temu kepentingan yang sangat manis bukan? Kedua belah pihak sama-sama dapat porsi sesuai kebutuhannya.
Akhir kata, jika skenario mejalankan misi ini berhasil, maka Megawati akan menutup catatan lembar politiknya dengan tinta emas dan full senyuman. Setidaknya Megawati tidak bernasib sama seperti Bung Karno di akhir karir politiknya yang tragis oleh rezim orde baru.