Oleh: Hermanto Harun
GEMURUH pawai tarhib menggema sebagai pertanda kegembiraan memasuki Ramadhan. Kalimat tarhib yang berarti ucapan suka cita atas kedatangan bulan puasa diucapkan oleh semua kalangan, mulai dari rakyat jelata hinnga para puggawa yang memegang kuasa.Ada ragam perspektif makna yang dapat ditangkap dalam kalimat tarhib, seperti ketulusan untuk melaksanakan puasa, meriuhkan suasana, hingga perpesktif politik dalam rangka mempengaruhi masa.
Sebenarnya, ungakapan tarhib atas kehadiran Ramadhan, sungguh sangat layak diucapkan, karena ia masih `bermurah hati' kepada pencintanya untuk bersua. Bulan yang penuh barokah ini selalu menghadirkan suasana cinta bagi perindunya. Sapaan akrab Ramadhan senantiasa hangat menghidupkan jiwa. Bahkan menyinari ruang qalbu yang sebelas bulan lalu digelapkan oleh kenistaan fatamorgana dunia. Hamparan permadani Ramadhan terbentang dengan melipatgandakan ganjaran bagi hamba yang beramal-ibadah. Setiap waktu dalam bulan ini selalu menyediakan hadiah yang tak terhitung harganya. Hadiah itu sudah tersedia dan teruntuk bagi kaum muslimin yang menjalankan ibadah puasa. Harga hadiah Ramadhan tak mampu dirincikan dengan angka, tak mungkin dieja ucapan huruf, karena semua terangkum dalam ampunan, rahrnat dan pembebasan dari neraka. (awwaluhu rahmah, wa aushathuhu rnaghfirah wa akhiruhu `itq min al-nar).
Sambutan hangat atas kehadiran Ramadhan menjadi begitu spesial. Tidak seperti bulan-bulan yang lain, bulan Ramadhan memiliki nilai "sakral" yang tak dijumpai dalam bulan hijriyah selainnya. Kesakralan Ramadhan selain karena termaktub dalam dalam kitab suci al-Qur'an, juga nilai ibadah yang diterkandung di dalamnya memiliki efek yang multi dimensi. Tidak hanya untuk hubungan vertikal tapi juga sosial. Dengan demikian, sangat-lah wajar jika baginda nabi Muahammad saw pernah bersabda "telah datang kepada kalian bukan Ramadhan, bulan yang penuh keberkahan, diwajibkan kepada kelaian untuk berpuasa pada siangnya dan melaksanakan qiyam pada malam harinya, ".
Dalam pengertian etimologisnya, Ramadhan berasal dari kata Ra-mi¬dha atau Ramdha' yang memiliki makna syadid al-har (sangat panas). Nama Ramadhan selain menunjukkan kondisi alam yang ada di lingkungan sahara Arab yang terbiasa berhias terik dan panas, juga melambangkan sebuah tantangan dahsyat bagi para pelaksana ibadah puasa (al-shoimun). Selain itu, dari namanya, ada sebagian ulama yang harus menginterpretasi kata ramadhan dengan huruf per-huruf yang semuanya memiliki makna. Menurut tafsir filosofis ini, kata ramadhan terdiri dari lima huruf yaitu: Pertama, ra yang berarti rahmah (kasih sayang). Kedua, mim, yaitu maghfirah (ampunan). Ketiga, dha, yang bermakna dhaman lil jannah (jaminan surga). Keempat, alif yang berarti aman min al-nar (selamat dari neraka). Kelima, nun, yang berarti nut. min al-Allah (cahaya dari Allah). Dan sisi teoritik ilmiahnya agak sulit membenarkan pendapat ini, namun jika dikontemplasikan sejenak, kesemua huruf tadi memiliki makna yang mencerminkan kandungan dan keagungan ibadah puasa Ramadhan.
Awalnya, perintah puasa Ramadhan "terinspirasi" dan ibadah puasa asyura yang di lakukan oleh kuam Yahudi Madinah. Menurut Abd Fatah Husni al-Syeikh dalam bukunya Fiqh al-Ibadat, ketika Rasulullah saw datang ke kota Madinah al-Munawwaroh, beliau menyaksikan kaum Yahudi berpuasa asyura. Beliau bergeming dan menyatakan bahwa kaum muslimin lebih awla (berhak) atas puasa itu, lalu diwajibkanlah bagi umat Muhammad saw melaksanakannya. Namun, pada tahun berikutnya, tepatnya pada hari Senin tanggal dua Sya'ban tahun kedua hijriah, puasa Ramadhan diwajibkan kepada umat Islam menggantikan puasa asyura yang mereka kerjakan.
Dan sinilah perintah puasa Ramadhan bertolak. Suatu titah ilahi untuk menyucikan diri, penempa kader militan dalam memperjuangkan agama suci. Bulan penaklukan ego yang selalu menghegemoni syahwat dan birahi. Bulan kemenangan dalam segala bentuk perjuangan. Bulan yang akan memberi sebuah gelar kehormatan "taqwa" bagi pencintanya. Gelar tertinggi yang berhak diraih oleh siapapun. Sebuah gelar anugerah yang membuka kesempatan bagi setiap hamba untuk merebutnya. Sayyid Qutb dalam tafsir monumentalnya Fi Zilal al-Qur'an, menuliskan bahwa orientasi agung dari puasa itu adalah taqwa. Ketaqwaanlah yang membangkitkan hati, sehingga bisa dan mampu melaksanakan kewajiban puasa. Taqwa juga yang menjaga hati dari kemaksiatan yang merusak puasa. Taqwa manjadi tujuan akhir dari jiwa dan puasa merupakan jalan menujunya. Inilah ungkapan indah al-Qur'an dengan kalimat 'la 'allakum tattaqun' (agar kamu menjadi orang yang bertaqwa).
Ibadah puasa menjadi titian menuju dermaga taqwa. Ketaqwaan merupakan jelmaan dari bentuk pengakuan akan status kehambaan seorang manusia kepada Tuhan. Ketaqwaan merupakan pakaian dan keimanan, karena iman tidak akan memiliki nilai, bobot dan makna apapun jika tidak ditutupi dengan busana taqwa. Disinilah tepatnya ungkapan al-iman `uryan walibasuhu al-taqwa (iman itu telajang dan busananya adalah taqwa). Dengan demikian para ulama mendefinisikan taqwa menjadi kepatuhan dan menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Puasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari taqwa yang terakumulasi dari terjemahan titah transcendental Tuhan. Secara lughawi, puasa (al-shaum) memiliki arti al-imsak (menahan). Pengertian spesifiknya (ishtilah) adalah, menahan diri dari makan dan minum dan segala yang membatalkan puasa dari mulai terbit fajar hingga tenggelamnya mentari. Ini artinya, berpuasa adalah usaha menahan diri prilaku konsumtif yang terlambangkan oleh perut dan tenggorokan. Puasa adalah pengendalian diri sikap hedonistic dan berlebihan yang tersimbol dari keinginan nafsu yang tidak bermuara. Adalah maklum bahwa segala keinginan perut jelas tak mungkin untuk dibatasi, karena Rasul sendiri sudah menganalogikan perut dengan bumi. Jika bumi menerima segala apapun yang tertumpah di atasnya, maka perut juga menampung apa saja yang dimasukkan kedalamnya. Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam bukunya Minhaj al- Abidin menulis perumpamaan yang indah tentang urgensi mengendalikan perut. Al-Ghazali mengulas ungkapan teks hadits yang disabdakan Rasul "jangan matikan hatimu dengan banyak mengkonsumsi makanan dan minuman, karena hati akan mati seperti tanaman yang mati karena kebanyakan air siraman. Dari sabda Rasul ini, para sholihin (orang-orang saleh) mengumpamakan lambung seperti kuali yang berada di bawah hati. Kuali itu selalu mendidih dan asapnya menerpa hati. Jika kebanyakan asap yang menyelimuti hati, maka is akan mengeruh dan menghitam. Jika hati selalu keruh dan hitam, maka kejahatan menjadi sejolinya. Syahwat duniawi menutupi gumpalan hati hingga mematikan nurani.
Tamsilan al-Gazali ini di atas agaknya masih layak untuk direnungkan, karena di sinilah letak pesan penting dari puasa yang menegaskan pengendalian, perhitungan dan kerendahan hati. Sungguh ibadah puasa merupakan kemuliaan sekaligus penghargaan Tuhan kepada makhluk-Nya yang bernama manusia. Dengan ibadah puasa, manusia mampu menghidupkan hatinya. Jika hatinya bersih maka jiwanya selalu hidup. Bukankah penghargaan Tuhan atas sebutan manusia itu karena hatinya? Dan hati juga bahasa lain dari akal dan jiwa (ruh). Dan takwa it bersemayam di dalam hati, seprti ungkapan baginda Nabi saw, al-taqwa ha huna, taqwa itu ada disini sembari beliau menunjuk dadanya. Wallahu a’lam. (*)
(*Ketua MUI Provinsi Jambi Bidang Dakwah dan Pemberdayaan Umat