“Ini semua salah lo ya! Hampir mati gila anak orang didalam sana!” Aresa masih sempat misuh, disampingnya ada Arjuna yang menemaninya sedari tadi berjongkok di depan pintu UKS. Kejadian di lapangan tadi, sedikit membuat upacara dilaksanakan lebih lambat 20 menit, sebab insiden lempar sepatu oleh Aresa yang berakhir tragis mencederai salah satu kepala siswa lainnya.
“Siapa yang ngide lempar sepatu?! lagian beli sepatu tebalnya ngalahi gincu emak – emak di pasar raya aja.” Arjuna itu jika dihadapkan dengan Aresa, maka tidak ada kata mengalah dikamus hidupunya. Aresa mengigiti jarinya, tidak lama kemudian mengacak – acak rambutnya, yang artinya ia takut, cemas, khawatir juga panik. Banyak kemungkian yang ada di kepalanya, Bagaimana jika siswa itu menuntutnya dan memanjangkan kasus ketidaksengajaan ini? Bagaimana jika Aresa harus drop out dari sekolah? Terlalu banyak pertanyaan yang diawali dengan Bagaimana. Jika saja Aresa harus keluar, maka Arjuna harus ikut, setidaknya Aresa tidak boleh malu sendiri, prinsipnya, nggak apa – apa jelek asal ada yang lebih jelek. Arjuna sama cemas dan takutnya dengan Aresa, kebiasaan Arjuna setiap frustasi pada keadaan mencabuti rumput atau mencoret coret tanah dan lantai di bawahnya. “Jun, kalo kita dikeluarin dari sekolah gimana?” Tanya Aresa, nadanya nelangsa, bersandar di depan pintu uks yang tertutup rapat. Didalamnya dapat Aresa dengan suara samar – samar dokter dan ringisan kesakitan. “Kita? Lo aja, kasihan mama gue nanti, kasihan Adela. Punya abang dicap berandal sekolah.” Mendengar perkataan Arjuna, gatal sekali rasanya Aresa ingin melayangkan tinju di wajah rupawan sahabatnya itu. Namun, lagi – lagi mengingat situasi dan kondisi yang sudah tidak mumpuni, Aresa hanya bisa melirik sini dan turut menghela nafas. “Gimana gue? Papa sih nggak apa – apa, mama paling marah – marah dikit. Lah, bang Jeano, mustahil kalo dia nggak ngegeprek gue.” Aresa sama takutnya. Keduanya bersandar naas di pintu UKS yang tiba – tiba terbuka dan membuat keduanya tersungkur ke lantai. “Ya tuhan, cobaan apa lagi ini, belum selesai masalah satu udah dikasih sakit aja.” Pekik Aresa drama mengusap bagian kepala belakangnya yang lumayan keras terbentur lantai. Arjuna membekap mulut Aresa sebelum kembali berteriak histeris yang tidak penting. “Yang jatuh bukan lo aja! Nggak usah lebay deh, dasar wanita!” Kesal Arjuna turut mengusap belakang kepalanya yang sakit. “Kalian berdua ini nggak ada kapok – kapoknya buat masalah!” Dokter Sanita memandang keduanya sembari menggelengkan kepala tidak habis pikir. Sebab, kali ini tingkah kedua remaja berbeda jenis kelamin itu sampai melukai orang lain. Biasanya, Dokter Sanita hanya akan mengurusi Aresa dan Arjuna yang lasaknya melebihi anak TK padahal keduanya ada dikelas yang berbeda tapi tingkah selalu ada – ada saja. Entah Dokter Sanita yang harus mengobati dua jemari Aresa yang terjepit pintu sebab Aresa dan Arjuna bermain kejar – kejaran di balik pintu. Atau Dokter Sanita yang harus berlari tergesa memberi pertolongan pertama pada Arjuna yang jatuh di lobi sekolah sebab berlarian dengan Aresa. “Eh, Dokter Sanita.” Sapa Arjuna dan Aresa bersamaan. “Tau nggak dokter tadi Pak Jaya titip salam sama kita buat dokter.” Aresa lebih dulu membual. “Iya, Dok. Kata belia, Dokter Sanita hari ini cantik sekali….” Arjuna yang isi otaknya sebelas dua belas dengan Aresa tentu mudah mengikuti alur drama tiba – tiba yang dibuat sahabatnya itu. Arjuna dan Aresa tahu betul hubungan Pak Sanjaya—guru olahraga mereka—dengan dokter Sanita, sebab memergoki keduanya kencan. Hanya saja demi profesionalitas pekerjanaan, guru dan dokter mereka itu menjalani hubungan diam – diam yang sering kali jadi sasaran godaan Aresa dan Arjuna. “Arghh…aaa…sakit – sakit…” “Aduhh...kuping Juna lepas,,sakit aaa…” Keduanya memekik sebab telinga yang ditarik, “Ngomong apa kalian berdua sama dokter Sanita! Masih kecil aja udah pandai bohong!” Kesal Pak Jaya yang sedari tadi berdiri di belakang Dokter Sanita dan keduanya, menyimak anak didik asuhannya itu. “Aduh…sakit bapak, lagian Resa sama Juna bukan anak kecil lagi bapak..udah tujuh belas, udah punya KTP bapak.” Jawab Aresa yang semakin membuat Pak Jaya menarik kedua telinga anak didiknya itu sedikit lebih keras. “Udah salah, melewan dan menjawab lagi.” Ujar Pak Jaya. “Pak, Juna nggak ikut – ikutan kenapa Juna juga kena, aa…sakit pak!” Protes Arjuna. “Kamu juga, Arjuna. Percuma pintar kalo nakal!” “Bapak mah, pintar salah, bodoh kaya Aresa juga salah!” Aresa melotot pada Arjuna yang menjawab dengan sekenannya, lagipula ia tidak terima dikatai bodoh. “Siapa yang lo bilang bodoh? Gue cuma nggak pernah rangking ya! Tapi piala atas nama gue ada di lemari prestasi di TU ya!” Aresa menendang tulang kering Arjuna. “Kalian berdua ini…minta maaf sama teman baru kalian dan buat ringkasan satu buku paket PJOK, kumpul ke bapak besok!” Ujar Pak Jaya melepas tarikan telingan pada Aresa dan Arjuna. Aresa dan Arjuna hanya menunduk, sebab tau perintah Pak Jaya itu tidak akan pernah berubah mau sekalipun memohon sembari menangis darah. Pak Sanjaya pamit pergi meninggalkan Dokter Sanita dan Duo biang onar. “Mari, Dokterr..” “Mari, Pak…” Sedang Aresa dan Arjuna masih saja berdebat, menyalahkan satu sama lain. “Salah lo!” “Lo lah!” “Lebih Salah Lo!” “Lo!” Dokter Sanita menatap satu siswa di brankar yang sedari tadi hanya mengamati, Memberi senyum pengertian, yang dibalas dengan anggukan oleh siswa itu. Remaja itu… ada ada saja. (bersambung)Ari Hardianah Harahap--