Malam semakin larut, namun ramainya jalanan tidak pernah surut. Dari kaca jendela yang berembun, semuanya tampak cantik, berkas cahaya yang remang – remang, suara deru yang ramai namun tak terasa memekkan, juga denting piring dan gelas yang beradu dalam restoran.
Lagu – lagu akustik silih berganti berputar, membawakan tiap nama penyanyi besar. Pelayan tampak hilir mudik sibuk mengantar dari satu meja ke meja yang lain. Ada yang duduk bersama keluarga, ada yang duduk berdua bersama orang yang paling dicinta, dan ada yang sendiri merehatkan diri setelah sibuk sehari penuh. Situasi dan suasanya selalu sama setiap harinya.
Bucket bunga di meja sudut tidak pernah absen terisi setiap minggu, bahkan kini orang – orang di restoran pun tahu untuk menjaga atau sekedar menyimpan bucket bunga itu agar tetap segar hingga bunga lainnya datang menggantikan. Biasanya, di akhir minggu meja sudut itu akan penuh dengan berbagai makanan, dari makanan yang paling berat dan mengenyangkan hingga makanan ringan yang sangat manis. Atau di hari – hari sibuk bekerja, meja itu akan terisi dengan dua gelas Americano dingin.
“Malam Mas Rago, setengah jam lagi ya, Mas.”
Sepotong Red Velvet tersaji di hadapannya, Rago benci manis. Namun, ia lupa sejak kapan kini ia menggilai kue yang identik dengan warna merah itu. Kepergian pelayan tadi mengingatkannya bahwa ia sudah di penghujung waktu, setengah jam lagi menuju restoran tutup. Dan lagi – lagi ia hanya mampu tersenyum kecut, sebab ia harus pulang sendirian. Besok, hari keberangkatannya, tapi yang dinanti masih saja belum kembali, Rago takut ia tak sempat berpamitan dengan layak, sebab ditinggalkan tanpa pamit itu menyakitkan.
Rago merapatkan jaketnya, lilin yang ada di tengah – tengah mejanya sudah mati sepenuhnya. Lima menit lagi menuju tepat jam dua malam. Waktu berjalan sangat cepat, kini tersisa dirinya dan orang – orang yang bekerja di restoran tengah bersiap pulang. Para pria melakukan tos ala pria sebelum menuju rumah masing – masing, sedang para wanita bergerombol sembari tertawa cekikan, membahas hal yang tampak menakjubkan bagi mereka.
“Malam hari bersama Santoso, tidak lupa ke kota kemang. Eh, ada Mas Rago. Yuk, Mas jangan lupa pulang!”
Rago tersenyum geli, mendengar pantun buatan Adira. Mengangguk dan turut berdiri bersama satu pria yang sejak dua bulan lalu terus saja mengikutinya ke restoran ini, Santoso.
“Liat harimau bersama Arimbi, jangan lupa panggil Ayuk. Eh, Neng Adira yang dinanti, pulang bareng hayukkk”
Kali ini pantun yang datang tidak dari Adira, melainkan Santoso. Santoso itu bentuk gigih yang sesungguhnya, sudah tidak terhitung berapa kali Adira menolak ajakan pulang Santoso itu, berkali – kali menggaet hati tapi tak kunjung di gubris. Tiap malamnya, ada saja yang dijadikan bahan ribut antar kedunya, mengingatkan Argo pada waktu silam. Jika dulu ia juga sama seperti mereka, berdebat perihal apa saja, kemudian tertawa seolah perdebatan itu tak pernah terjadi.
“Gue naksirnya sama Mas Argo, mau apa lo?”
“Ah, yang bener?
“Bener, jadi harapan lo itu nol besar!”
“Jangan benci – benci banget Neng Adira, nanti sekalinya jatuh sama saya, susah lupanya.” Perihal menggoda Adira itu Santoso juaranya, ada saja kalimat yang tak terbantahkan, buat Adira mati telak sebelum menjawab.
“Amit – amit, najis kamseupai lo!” Adira kesal, menghentakkan kakinya berjalan meninggalkan Argo sendirian, sebab Santoso jelas mengejar Adira sembari tertawa meledek. Semakin jauh, Argo dapat mendengar suara tawa Santoso yang semakin keras, dan Adira yang kini mengejar Santoso dengan tas yang kapan saja siap dilemparkan, menyisakan tawa pelan pada Argo yang menyaksikan mereka hingga bayangan kedunya hilang dari pandangannya.