“Curang ya, saat kehilangan kita dipaksa bertahan walau menyakitkan. Dan saat mereka yang kehilangan, kita dipaksa pengertian, lalu kemana mereka saat kita butuhkan?”
>>>***<<<
“Juandra,” Panggilan riang itu menyenangkan, gadis itu tersenyum ceria memperlihatkan seluruh gigi putihnya yang berjarak, pipi berisinya berguncang seiring langkahnya. “Juandra, jangan nangis, Kanaya ada disini.” Apa yang Juandra harapkan dari perempuan berusia lima tahun itu, apa yang Juandra harapkan terjadi dari usaha anak kecil yang bahkan tak tahu masalah apa yang sebenarnya menimpanya.
“Juandra, kalo ada yang harus disayang sekali di dunia sama Kanaya, selain Ayah sama Bunda, mungkin Juandra orangnya,” Gadis kecil dengan kepang dua itu memang tidak ada sopan – sopannya pada Juandra yang berjarak sepuluh tahun darinya. Walau lucu, kadang – kadang Jundra gemas untuk memperbaiki tutur yang kelewat santai itu padanya.
“Juandra…” Hingga saat Juandra yang terbiasa mendengar nada ceria yang kelawat semangat dihadapkan dengan nada bicara pelan yang sangat lemah, bahkan nafas putus – putus itu terlihat sangat kesakitan. Pipi merah yang berisi itu kini tirus meninggalkan ruas – ruas yang memperlihatkan seberapa kuat gadis kecil itu—Kanaya—berjuang untuk bertahan hidup. Hari itu, Juandra bukan pemuda dewasa yang bisa mengerti bahwa tidak semua yang ia senangi akan selalu bertahan di sisinya, tidak semua yang ia kehendaki akan selalu terjadi sesuai rencananya.
“Jangan jadi sempurna, biar lukanya nggak separah Kanaya,” Juandra bahkan hari itu tidak tahu makna dibalik kata sempurna. Sempurna yang seperti apa? Sempurna yang bagaimana Kanaya maksud. “Abang…” Hati Juandra terluka seutuhnya, tidak apa – apa Juandra saja, tidak apa – apa ia harus menahan kesalnya, tidak apa – apa gadis itu terlihat semaunya, asal tidak ia tinggalkan Juandra dengan luka yang begitu naas, asal Juandra tidak merasakan apa itu sakit kehilangan.
“Abang, hidup yang bahagia, biar Kanaya lega.” Benak Juandra penuh, perkataan itu bahkan tidak mampu ia cerna, piagam – piagam yang ia dapatkan, piala – piala yang berjajar rapi di lemari kamarnya, nilai – nilai sempurna di buku dan lapornya kini terasa hampa, Juandra gagal mencerna segalanya yang terjadi. Genggaman erat yang biasanya menarik dan memaksanya untuk mengikutinya membeli mainan kecil dan semangkuk eskrim kini bahkan tidak dapat menggengam tangan Juandra dengan erat, rasanya sangat rapuh, takut semakin Juandra genggam erat semakin ia tahu bahwa genggaman itu tidak lama lagi.
“Abang, Kanaya bahagia, bisa main sama abang.” Suara Elektrodiorgaf yang nyaring membuat telinganya pengang, garis lurus itu rasanya juga turut mematikannya. Membawanya pada epiphani yang gamang. Juandra linglung, sebab takut itu buatnya tak mampu melangkah. Juandra kehilangan, nyaris setengah jiwanya. Juandra berduka, duka yang begitu sakit, yang lukanya terasa abadi. Kanaya-nya, Adiknya pergi, bahkan saat ia belum sempat pamit, saat ia belum sempat berkata, “Kanaya itu adiknya abang, adiknya abang yang paling abang cintai.”
***
Arsena menatap Juandra yang tertidur dengan racaun tak jelas di kursi tunggu rumah sakit, igauannya terasa pilu, air matanya turun, wajah yang biasanya begitu sombong itu kini terlihat retak, Arsena seolah tengah berkaca, disana ada dia, yang kondisinya jauh lebih parah, yang hatinya lebih hancur dari Arsena. Jundra hancur bahkan dalam tidurnya.
“Juandra,” Bisik Arsena, menggenggam tangan Juandra erat, kemudia mengelus kening yang berkerut itu lembut. “Tidur yang nyenyak, tidur yang nggak ada mimpinya,” Ujar Arsena pelan, ia tersenyum kecil, tak berniat beranjak dari posisi jongkoknya yang mengamati Juandra.
“Emboli paru, dia tiada, usaha kita percuma.”
Arsena kembali mengingat perkataan Juandra, laki – laki itu begitu pasrah dengan pengetahuannya yang luar biasa, padahal dalam kasus yang ada di IGD tadi, Juandra jauh lebih mumpuni dibanding Arsena. Juandra itu diam – diam diakui oleh Arsena, jika pemuda di depannya itu nyaris mendefiniskan sempurna sesungguhnya.
“Harusnya lo nggak datang, kalo lo nggak mau.” Arsena memulai obrolannya pada raga Juandra yang kini terlihat pulas dalam tidurnya, “Lo bener, dia tiada. Tapi gue nggak setuju dengan usaha yang kita bakal jadi percuma. Kita itu udah mengusahakan, dan saat kita menemukan waktu kematian kita nggak akan pernah punya penyesalan, Ju. Kita bukan tuhan, yang kita bisa cuma menawarkan bantuan, untuk bertahan walau nyaris mustahil.”
“Putus asa bukan berarti harus tiada, dari ada banyaknya pilihan, gue menjadikan kematian ada di pilihan paling akhir buat kehidupan ini, dan gue berharap semua orang bakal berpikir gitu.” Arsena larut dalam perkataanya sendiri, genggamannya semakin erat pada tangan Juandra.