“Jangan pernah merasa gagal untuk jadi diri sendiri, karena ada milyaran manusia memang, tapi nggak semua tau bahaginya jadi diri sendiri karena sibuk iri sama orang lain”
-Arsena, satu – satunya Arsena Putri di Muka Bumi
>>>***<<<
“Dia? Nilai OSCE-nya paling tinggi seangkatan?” Arsena mengunyah rotinya dengan raut terkejut di wajahnya, potongan besar yang digigitnya membuat kedua pipinya penuh dan menggembung. Beberapa selai coklat tersisa di pinggir bibirnya. Widia mengangguk dengan serius menangkup wajah Arsena, rambut bergoyang seirama dengan kepalanya, pipinya merah dengan kulit wajah mulus, memperhatikan Widia sedekat ini membuat Arsena sedikit iri, sebang jika dibandingkan keduanya, jelas sekali kontras perbedaannya.
“Iya! Lo masa nggak tau sih?! Padahal lo yang jurusan kedokteran. Bayangin segemapar apa beritanya sampe gue yang anak kimia aja tau!” Widia tidak melebih – lebihkan pernyataannya terkait pria yang keduanya sedang amati, potongan undercat pada rambutnya membuat rahang pria itu terlihat tajam, mata, hidung dan bibirnya dalam porsi yang sempurna. Jaket denim dan jeans robek – robek menambahkan kesan bad boy yang membuat penilaian dari segi manapun dan dilihat dari sudut manapun, pria itu mendefinisikan kata sempurna. Tampan, Jenius, dan Tajir. Arsena turut memandang Juandra—pria yang mereka bicarakan—yang tengah mengantri dikasir lewat kaca transfaran indomaret. Arsena mengangguk – angguk, Widia benar, sekali lihat saja Arsena tahu pria itu bukan pria sembarangan.
“Darah biru, pasti.” Komentar Arsena, kali ini ia menyereput Teh Sisri yang ia beli di warung depan indomaret. Widia bereaksi dengan seluruh tubuhnya, menatap Arsena geram, “Bukan lagi anjir!! Dia anak konglomeratnya Jakarta, udah anak konglemarat kakak sama ibunya spesialis kardiologi! Lo bayangin, sendok emas murni!” Arsena memutar bola matanya—jengah. Akibat reaksi Widia yang terlalu berlebihan.
Arsena mengambil rotinya yang tersisa dan menyuap paksa Widia untuk memakannya, “Iya – Iya gue tahu, tapi lo nggak usah muji dia kayak gitu banget elah. Ya udah, sendok emas mah sendok emas aja. Kalo dia berkontstribusi dalam hidup kita, mah aya aya wae buat kita gibahin sampai mulut berbusa, ini 0,5 persen aja nggak ada, Wid.”
Widia mengusap bibirnya kasar, meneguk Teh Sisri Arsena brutal, meredakan potongan roti yang memaksa melewati kerongkongannya, menatap Arsena garang, wajahnya memerah, dan berkeringat, “Lo kalo mau bunuh gue mah liat – liat situasi dan kondisi dulu woi, nggak di keramaian gini juga, merusak keestetikan pesona gue.” Alih – alih protes sebab perlakukan Arsena, Widia malah mengomentari hal yang melenceng dari topik pembicaraan mereka.
“Sinting!” Balas Arsena menggedikan tubuhnya menatap Widia dengan sorot aneh, sekaligus tak paham dengan salah satu spesies manusia yang didepnnya ini. Widia terkikik geli melihat raut wajah Arsena, menghela nafas pelan sebentar sebelum ia kembali melanjutkan perkataannya.
“Lo…apa nggak pernah kepikiran gitu? Coba seandainya kita yang jadi dia, cantik, tajir, jenius. Dia dilihat dari jauh aja udah silau, bray! Yang apa – apanya itu bakal selalu dipertimbangkan, yang pendapatnya itu didengar, yang…apa ya? Pokoknya something we don’t have, but he had.” Ujar Widia, Arsena mendengus mendengarnya tak percaya.
“Lo gila.” Respon Arsena, ia mengkucir rambutnya, kemudian menumpukan kedua lengannya menopang wajahnya, turut mengamati Juandra yang sedari tadi masih menjadi topik hangat perbincangan mereka.
“Gue? Why?” Widia bertanya bingung.
“Hidup lo yang sekarang, apa nggak enak?” Tanya Arsena tanpa melirik Widia sedikit pun, fokusnya hanya pada kegiatan Juandra yang tampak tengah berbincang ramah dengan kasir berseragam biru merah yang sekilas mirip Maria Jolie itu. Gesturnya ramah dengan senyum hangat. Pantas ramai antriannya, rasa nyaman itu memang sulit didapati.
“Maybe yes, maybe no. gue bukannya nggak bersyukur tapi ada saat – saat dimana gue berpikiran, ‘seandainya gue dia, gue pasti lebih bahagia’” Widia berkata lesu, senyumnya tampak tidak ikhlas dengan wajah merengut, mungkin jika Arsena tebak, kepala sahabatnya itu tengah penuh dengan bayangan ‘andai aku adalah dia’.
Arsena tertawa kecil, “Itu keterbatasan manusia, Wid. Mau dikasih sebanyak apapun, selebih apapun, yang namanya manusia nggak akan pernah berhenti buat ngebandingin diri, buat berandai – andai semisal gue yang jadi dia, gue pasti lebih bahagia, lebih cantik. Banyak lah pokoknya. Bahkan gue nggak lepas dari itu, kadang – kadang ada masa dimana gue tu iri liat lo sama Abian, walau gaya pacarana kalian itu aneh banget, gue sering mikir, apa kalo gue yang jadi Widia gue bakal dicintai sebanyak itu. Atau gue ngebayangin diri gue Abian, apa kalo gue jadi Abain gue bisa punya privilege yang buat apa – apanya itu tinggal minta. Banyak tau Wid.” Arsena menatap Juandra dengan senyum tipis, menikmati tiap gerak – gerik pemuda itu yang tertawa renyah dengan sang kasir, bahkan dari tempat Arsena saja, ia dapat dengan mudah tahu, wajah yang memerah di pihak wanita tandanya percakapan itu sedikit menggoda, sejatinya pria. Mau dikata se-greenflag apapun, Arsena percaya 15% dari tubuh mereka terdiri dari atom – atom Redflag khas pemuda zaman sekarang. Arsena menatap Widia sebentar, tersenyum lebar dengan deretan giginya, “tapi pada akhirnya gue itu Cuma Arsena putri!” Ujar Arsena bersemangat. Matanya menyipit sebab senyumnya yang semakin lebar.