Tata itu manusia yang 24/7 hidupnya bersama ponsel dan sosial medianya, ia tidak takut ketinggalan trend atau apapun itu, melainkan hanya sebuah kebiasaan yang sulit ia tinggalkan sebab terbiasa sejak dulu ontime memberi kabar pada mantan kekasihnya dulu atau sekedar bertukar sapa pada teman – temannya. Berbeda dengan Abian, yang apa – apanya sangat jauh pada ponsel, bukan berarti Abian tak punya, ia punya, hanya saja kegunaannya tidak ia gunakan selain untuk menelpon mamanya yang sering kali cemas berlebihan.
“Bi, kamu kemana aja sih seharian? Aku telpon – telpon, aku sms, aku chat nggak ada kamu balas sekali. Kamu kenapa sih? Kamu punya selingkuhan iya?!” Hari itu Tata terlampau emosi, ia berusaha mengerti, tentang Abian yang tidak suka diganggu kala bekerja, tentang Abian yang merasa risih harus menggengam dan memastikan ponselnya menyala. Tata bahkan merasa terlampu pengertian pada setiap kebiasaan Abian, hanya kali ini Tata merasa Abian terlalu menyepelekannya, Tata terluka, luka yang tak kasat mata, sebab lama ia merasa, Abian tidak lagi membutuhkannya sedang ia tidak bisa bertahan tanpa Abian.
“Kamu apa – apaan sih?!” Abian lelah, ia bahkan belum masuk ke dalam apartemennya, kegiatannya padat, tidak ada keinginan yang lebih ia inginkan saat ini selain merebahkan dirinya sesaat sebelum kembali setumpuk pekerjaan yang ia bawa. Dan kehadiran Tata dengan marahnya menyulut egonya. Seharusnya Tata tak lupa, Abain itu laki – laki dewasa, yang emosinya mendidih kala disalahkan tiba – tiba. Hari itu pertama kalinya, setelah hubungan enam bulan mereka, sebuah kesalahpaham menjerat keduanya dalam lingkar pertengkaran.
“Kamu yang apa – apaan?!” Tata tidak terbiasa marah dengan suara keras, ia terbiasa melampiaskan emosinya dengan menangis hingga sesak. Tapi kali ini, ia sesak, dengan air mata yang siap jatuh kapan saja tapi ia tahan mati – matian di depan Abian. Nada tinggi yang ia lontarkan tak mampu menyembunyikan getir yang terselip dalam suaranya. Tata takut, dihadapannya Abian turut emosi, tapi ia juga tak bisa mundur, nasi yang ia masak terlanjur menjadi bubur, satu – satunya yang bisa ia lakukan hanya menghadapi kenyataan kini.
“Sesusah itu Abian?! Sesusah itu ngabarin aku?! Cuma ngetik Abian, ngetik dong!” Tuntut Tata. Abian menggeram marah, “IYA SUSAH!” Balas Abian dengan nada keras, giginya bergemelutuk marah. Ia genggam bahu Tata kuat, membuat sang empu meringis kesakitan, yang sama sekali tak ia gubris rintihannya.
“Susah, Ta! Susah sekali! Tuntutan kamu yang terlalu banyak buat aku, terlebih lagi tuduhan kamu yang terus saja mengada – ada. Susah, Ta! Susah sekali rasanya!” Kesal Abian, mati – matian ia tahan suaranya agar tak lagi sekeras sebelumnya, Abian takut sedikit lagi oktaf suaranya naik, ia akan menyesali segalanya. Ia tidak lupa, Tata itu perempuan, yang hatinya masih sama, sama rapuh dan perasanya. Terlebih lagi Tata itu masih kekasihnya, sosok yang ingin ia ajak meniti langkah bersama.
Abian melempaskan cengkramannya, mendorong bahu Tata pelan ke belakang, ia kepalkan genggaman tangannya kuat, menahan segala bentuk gejolak emosi di hati dan kepalanya, “Pulang!” Suruh Abian.
“ABIAN!” Teriak Tata kesal tak terima, Abian tak menggubris Tata, ia buka pintu apartemennya meninggalkan Tata sendirian. “Pulang, Ta! Pulang!” Suruh Abian lagi sebelum membiarkan Tata sendirian meluruh di depan pintu apartemennya sembari terisak.
“Abian!” Kesal Tata memanggil Abian dengan nada kecil, sebab tenaganya tak lagi ada. Kakinya gemetar, membuat Tata terduduk lemas. Tangis Tata pecah, hatinya sakit sebab perlakuan Abian. Setidaknya Abian bisa memberinya sedikit pengertian, sebelum ia ditinggalkan begini naasnya. Tata sungguh merasa kasian, mengasihani dirinya yang sungguh menyedihkan. Sedang di balik pintu, Abian bersandar, berdiri dengan mata tertutup rapat, didadanya bertumpuk marah dan kecewa. Namun, penyesalan jauh lebih mendominasi dirinya.
“Pulang, Ta. Tolong Pulang, nanti hari gelap, kamu ketakukan.” Bisik Abian, siapa bilang ia tak cinta, dibalik lelahnya, Tata menjadi pusat pikirnya, ia mengkhawatirkan kekasihnya itu. Khawatir sebab malam ini tak bisa ia antarkan pulang dan istirahatkan dengan nyaman seperti biasanya, khawatir sebab dibanding Tata, Abian masih memilih kecewanya. (Bersambung)