Pengkhianatan Intelektual: Sebuah Catatan Kritis terhadap Fenomena Kaum Intelektual Dewasa ini

Sabtu 01-10-2022,17:38 WIB
Editor : Setya Novanto

Apa yang dikatakan Pram, persis dengan yang terjadi hari ini. Kaum intelektual yang mestinya berkewajiban mengkoreksi dan bersuara kritis terhadap kondisi sosial yang dianggap tidak baik, tapi memilih bungkam, dan bahkan membenarkan status quo.

 

Kaum intelektual harus bagaimana?

 

Menurut Benda, agar terhindar dari polusi kekuasaan maupun materi, kaum cendekiawan harus tampil sebagai resi atau begawan yang mesti menjaga jarak dengan kekuasaan. Kaum cendekiawan tak boleh mempunyai kepentingan praksis apa pun dalam pergulatan sosial, kecuali demi tegaknya kebenaran itu sendiri. 

 

Cendekiawan adalah orang-orang yang hidup di dalam "kerajaan roh" (qui vit dans le royaume d'esprit). Mereka tak mengejar keuntungan materil. Mereka memilih mengejar keuntungan nonmateril (dalam bentuk kepuasan estetis, metafisis dan saintifik). Kalaupun mereka harus bersuara, mereka hanya menyuarakan nilai-nilai kebenaran. Dalam khutbah klasik Julien Benda (La Trahison des clercs), intinya mengingatkan kaum cendekiawan yang mengkhianati jati dirinya dengan berburu kekuasaan, bersekutu, dan menghamba pada kekuasaan.

 

Frano Kleden (alumnus STFK), menulis, Julien Benda mengafirmasi adanya pemisahan yang tegas antara cendekiawan dan kekuasaan. Menurut Benda, lanjut Kleden, adalah sebuah bentuk pengkhianatan kaum cendekiawan apabila mereka terlibat dalam kancah politik (kekuasaan) dan mengabdikan diri pada kegiatan politik praktis, lalu melupakan tugasnya sebagai penjaga moral (lihat Frano Kleden, Cendekiawan dalam Pusaran Kekuasaan, dalam Mediaindonesia.com).

 

Tapi, menurut saya, tak masalah jika kaum intelektual terlibat dalam kancah praksis-politik. Asalkan tujuannya berjuang dalam rangka amar maruf nahi mungkar, menegakkan kebenaran dan keadilan. Bahkan, menurut arsitek Revolusi Iran, Ali Syariatidalam bukunya Tugas Cendekiawan Muslim yang diterjemahkan dan diberi pengantar oleh M. Amien Raiskaum intelektual itu harus terjun ke tengah-tengah umat dan memberikan pencerahan. Berjuang bersama umat menentang status quo. Syariati mengecam intelektual yang apatis terhadap kondisi sosial dan tak peduli pada rakyat yang tertindas. Syariati mengkritik kaum ilmuwan modern yang atas nama netralitas ilmiah menjual diri pada kekuasaan demi kepentingan materil. Bahkan, Syariati juga mengecam para ulama yang hanya sibuk memelihara jenggot, yang kerjanya hanya memberikan pembenaran-pembenaran moral terhadap status quo dan semua kebijakan penguasa. 

 

Jadi, keterlibatan kaum intelektual dalam praksis sosial-politik bukanlah sesuatu yang haram. Dan dalam sejarah bangsa kita, ada banyak kaum intelektual yang berjuang melalui jalur politik untuk mewujudkan cita-cita moral dan etis. Kita bisa menyebut beberapa contoh, misalnya, H.O.S. Tjokroaminoto, Tan Malaka, Bung Karno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Haji Agus Salim, Ir. Djuanda, Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, dan lain-lain.

 

Justru yang dapat disebut sebagai “pengkhianat intelektual”, menurut saya, ialah mereka yang tergolong kaum intelektual (kaum terdidik), tapi mereka tak berjuang merubah kondisi sosial ke arah yang lebih baik. Mereka hanya membebek dan menghamba pada kekuasaan. Mereka tak berani bersuara kritis mengkoreksi kondisi sosial. Mereka mengkhianati ilmu dan tanggung jawab moral yang ada pada diri mereka dengan hanya menjadi “tukang stempel penguasa dan membenarkan semua kebijakan penguasa dan status quo. Mereka berperan memberikan legitimasi pada setiap tindakan penguasa agar dianggap sah, benar, dan adil. Menggunakan argumentasi dan otoritas keilmuannya untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar. Mereka lakukan itu demi mendapat imbalan materi dan kepentingan duniawi. Istilah kasarnya: pelacur intelektual.

 

Tags :
Kategori :

Terkait