JAMBI, JAMBIEKSPRES – Nelson Simanjuntak, kuasa hukum keluarga alm Brigadir Yosua Nopyansah Hutabarat alias Brigadir J, mengaku ikut menyertakan satu bukti penting terkait kasus Brigadir J, yaitu surat kosong.
Saat keluarga menerima peti jenazah di rumah duka, tepatnya di Sungai Bahar Muaro Jambi, Sabtu (10/7), sekitar pukul 17:00, keluarga juga menerima surat sertifikat.
“Setelah dibuka ternyata isinya kosong melompong, tidak ada,“ ujar Nelson dikutip Jambi Ekspres dalam talkshow yang disiarkan Kompas TV Sabtu (23/7).
Kata Nelson, di surat yang diserahkan bersamaan dengan peti jenazah harusnya tertulis, siapa mayat ini, kenapa lebamnya, dianiaya atau bagaimana. Namun h anya ada tanda tangan dokter dan itupun usia alm Brigadir J tercatat salah.
“Usia salah, 28 tertulis 21, banyak kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan,“ lanjutnya lagi. Hal ini ikut menjadi salah satu point yang membuat keluarga menghendaki autopsi ulang, disamping alasan lainnya.
Sementara itu, pengamat hukum pidana, Jamin Ginting, dalam acara yang sama, mengatakan harusnya hal itu tidak terjadi jika prosedur autopsi sudah benar.
“Outopsi dilakukan atas persetujuan keluarga, kalo keluarga tahu harusnya identitas tidak akan salah, “ lanjut Jamil.
Terkait dengan keinginan keluarga melakukan autopsi ulang, peluang hasilnya berbeda dengan hasil autopsi pertama bisa saja terjadi.
“Hasil yang benar adalah ketika itu dilakukan mengikuti tata cara prosedur autopsi yang benar. Hasil bisa saja beda tapi tata cara harus diikuti, “ lanjutnya.
Lantas hasil autopsi mana yang akan diikuti, apabila nanti terdapat hasil yang berbeda pada kasus Brigadir J? “ Hasil autopsi yang dilakukan sesuai prosedur, “ tegas Jamin.
Mendengar beberapa penjelasan kuasa hukum keluarga alm, terkait surat kosong, pencatatan usia yang salah, kata Jamin dikhawatirkan autopsi tersebut tidak mengikuti standar prosedur yang benar. “Makanya diperlukan sesuatu yang benar, “ lanjutnya lagi.
Tak hanya autopsi ulang, rekonstruksi ulang juga bisa terjadi. Alasannya beragam. Pertama kata Jamin, karena setelah dilakukan rekontruksi ternyata tidak komprehensif, masih ada beberapa bagian rekontruksi yg dinyatakan kurang sehingga perlu adanya penambahan atas kekurangan rekonstruksi pertama.
Kedua karena ada laporan dari orang yang dianggap pelaku tapi merasa sebagai korban, sehingga perlu melengkapi informasi yang diterima dalam rekontruksi ulang.
Hasilnya nanti akan jadi dasar kuat, terkait kapan waktu terjadi tindak pidana dan tempat terjadi tindakan pidana dan bagaimana pidana itu dilakukan, tambah Jamin lagi.(dpc)