Jurnalisme dan Tantangan Masa Depan

Jumat 25-03-2022,11:16 WIB
Editor : novantosetya

Oleh: Herri Novealdi *)

 

BURUNG Bangkai dan Gadis Kecil. Foto peraih Pulitzer Award, penghargaan tertinggi dan bergengsi dalam bidang jurnalistik, namun berujung depresi dan penyesalan yang amat sangat bagi pemotretnya. Hingga akhirnya sang wartawan memilih bunuh diri beberapa bulan setelah penghargaan berhasil diraih.

Foto itu diambil oleh Kevin Carter tahun 1993. Berlokasi di Sudan, saat penduduk negara itu dilanda bencana kelaparan luar biasa karena perang saudara berkepanjangan. Kevin Carter adalah wartawan yang hidup dan besar di Afrika Selatan saat sistem Apartheid sedang berlaku.

Jurnalis dan penulis kawakan Jepang, Akio Fujiwara, lebih lengkap menuliskan kisah memilukan itu dalam bukunya berjudul “ The Boy Who Became a Postcard”. Pun kita juga bisa menyaksikan kisah itu lewat film The Bang Bang Club garapan tahun 2011. Diangkat dari kisah nyata empat fotografer perang, termasuk Kevin Carter di dalamnya.  

Suatu ketika, dari Afrika Selatan Kevin Carter datang ke Sudan bersama seorang sahabatnya, Joao Silva, pada bulan Maret 1993. Dengan menumpang pesawat PBB yang membawa bantuan makanan, keduanya turun di wilayah utara Sudan.

Ketika itu terlihat seorang bocah sangat kurus karena kelaparan dan terlihat tak berdaya, tak kuasa untuk berdiri. Seperti sedang bersujud, si bocah berusaha menyeret-nyeret tubuhnya ke arah orangtuanya yang tengah berebut makanan.

Kevin Carter langsung mengabadikan foto tersebut. Saat sang bocah menyeret-nyeret tubuhnya, tepat saat burung bangkai yang menguntit di belakang. Jadilah foto memilukan itu, sekaligus mengundang kontroversi.

Setahun kemudian, dia mendapat Pulitzer. Penghargaan itu diraih setelah karyanya muncul di majalah New York Times, 26 Maret 1993. Fotonya dianggap berhasil menggambarkan suasana di kawasan Afrika.  Namun hal itu tidak menutup keran suara sumbang. Dia dianggap membiarkan anak malang itu sendirian, kelaparan, tanpa ditolong, dan lebih mementingkan hasil jepretnya ketimbang nyawa si bocah.

Padahal, saat foto diabadikan si bocah berhasil menyusul orangtuanya. Suasananya juga dalam keadaan ramai. Kebijakan saat itu juga melarang interaksi berlebihan antara jurnalis dengan korban kelaparan. Alasannya karena khawatir risiko penularan penyakit. Tapi kritik pedas tetap saja berdatangan ke Kevin Carter. Terus dicibir, bertubi-tubi.

Sang peraih Pulitzer itu memilih bunuh diri karena sangat depresi. Dia mengakhiri hidupnya dengan cara sungguh tragis. Asap knalpot dialirkan ke dalam mobil, lewat jendela, tepat ke arah bangku pengemudi. Hingga akhirnya meninggal karena keracunan karbon monoksida.

Depresinya yang berujung bunuh diri ini juga lantaran rasa bersalahnya atas kematian sahabat karibnya, Ken Oosterbroek, yang tertembak saat meliput pertempuran di Afrika Selatan. Kejadiannya tepat ketika Kevin Carter diwawancarai media atas penghargaan Pulitzer. Bagi Kevin Carter, seharusnya dialah yang terbunuh, bukan Ken.

Kegagapan Jurnalisme Saat Ini

Kisah Kevin Carter menjadi satu dari banyak cerita yang memotret bagaimana kerja jurnalis dan bagaimana mereka memikul tanggung jawab besarnya. Kevin hingga akhir hayatnya tetap berupaya untuk menegakkan nilai-nilai jurnalismenya.

Dengan kerja jurnalistik, dia mengabarkan berbagai peristiwa dan menyuarakan suara kelompok-kelompok yang tak kuasa bersuara. Melalui karya jurnalistik terbaik pula. Meskipun nyawa sebagai taruhan.

Akan tetapi, tentunya tanpa meniru caranya yang memilih bunuh diri ataupun depresi seorang jurnalis haruslah menunjukkan nilai independensi, profesional, dan tentunya juga harus berintegritas.

Praktik jurnalisme haruslah bertitik tolak pada aspek kebenaran, dan berpihak kepada kepentingan publik yang sangat besar. Yang juga penting, jurnalis harus selalu berfungsi secara jujur dan objektif saat melakukan kerja jurnalistiknya, beretika dan juga beradab.

Yang jelas, tantangan jurnalis sekarang makin kompleks. Dahulu, industri pers s ebagai penjaga gerbang informasi. Posisinya jelas, monopoli akses informasi ke masyarakat luas. Tapi sekarang, ada alternatif lain yang juga bisa dipakai agar informasi bisa diproduksi. Meskipun bukan dalam rupa jurnalistik, tanpa harus melibatkan jurnalis pula.

Tapi jurnalisme tetaplah jurnalisme. Peranan dan fungsinya harus terus berjalan, apapun tantangannya.

Pastinya, bila ingin tetap diakui keberadaanya, pada saat teknologi terus berkembang tiap jurnalis mustilah beradaptasi. Tapi tentunya tak cukup hanya mengandalkan optimalisasi klik dan logika viral semata. Jurnalis harus tetap mengedepankan kualitas, dan tak lagi mengandalkan cerita sensasional dari sumber-sumber sekunder.

Yang mengkhawatirkan adalah apabila jurnalisme terlalu jauh masuk ke ruang-ruang privasi seseorang. Diperparah dengan click bait dan kata-kata yang mengeksploitasi kecantikan, ataupun maskulitas, misalnya. Belum lagi karena adanya keterlibatan jurnalis dalam politik praktis. Partisan, begitu banyak orang mengistilahkannya. Mereka ikut menjadi buzzer. Mendengung kemana-mana di media sosial. Mengkomputasi pesan partisannya, dan mengarahkan opini publik.

Lantas, bagaimana publik akan percaya akan objektivitasnya? Padahal jurnalisme sangat berkaitan erat dengan kepercayaan publik.  

Jangan sampai sebagai jurnalis larut dalam kebisingan, lalu mengenyampingkan etika dan moral. Jurnalisme haruslah memberi manfaat sebesar-besarnya yang mampu menjaga kepercayaan publik. Jangan sampai kita abai. Membuat jurnalisme tak lagi dipercaya. Alamat kita seperti sedang mau bunuh diri , m enggali kubur untuk kita sendiri. Seperti seorang Kevin Carter, dengan plot cerita sedikit berbeda.

*) Penulis adalah a kademisi / Ahli Pers dari Dewan Pers untuk Wilayah Prov. Jambi

Tags :
Kategori :

Terkait