Oleh : Angga Setiawan Rahardi*
“Share In Experience” seri pertama yang gue tulis menceritakan tentang gimana cara kita untuk dapat menjadi pemimpin dengan cara mengenal dan memimpin diri kita sendiri. Seperti sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam :
“Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawabannya”. (HR Abu Daud)
Setiap manusia itu terlahir sebagai pemimpin, minimal bisa memimpin diri kita sendiri. Jika kita udah mampu memimpin diri kita sendiri, maka kita juga akan mampu memimpin orang lain. Seperti yang udah pernah gue jelasin sebelumnya, manusia itu adalah makhluk mikrokosmos yang memiliki keterikatan (interconnected) antara satu dengan yang lainnya.
Lantas gimana caranya agar kita bisa menjadi seorang pemimpin yang baik?
Di luar sana masih banyak yang belum tahu bahwa memimpin sebenarnya adalah sebuah seni. Seni dalam artian, setiap orang bisa menjadi pemimpin dan mempelajari seni itu agar bisa memberikan pengaruhnya dalam suatu kelompok, institusi, yang dalam hal ini adalah lingkungan kerja yang dia pimpin. Tanpa pengaruh yang kuat, seorang pemimpin mustahil bisa memuluskan tujuan dan kepentingannya serta mendapatkan respect dari orang-orang yang dia pimpin.
Kalian pernah denger istilah “memimpin bukan hanya soal mengorganisir, tapi memimpin juga tentang bagaimana cara kita berhubungan dengan manusia” kan? Menurut gue, kata-kata itu emang bener adanya. Dan itulah alasan gue nulis seri kedua dengan judul “Menjadi pemimpin yang mencintai dan dicintai bawahan”. Oke, gue coba jelasin dengan bahasa yang se-sederhana mungkin dan menghindari istilah-istilah ilmiah yang membingungkan kalian.
Manusia itu punya sifat, watak, kehendak, sikap, serta karakter yang berbeda-beda. Jadi, kita sebagai pemimpin menggunakan cara pendekatan yang berbeda-beda pula untuk masing-masing individu. Manusia juga penuh gejolak emosi, kadang bisa semangat kadang juga bisa turun motivasinya. Semuanya tergantung dari cara kita sebagai pemimpin untuk mengerti apa yang harus dilakukan dalam situasi tersebut.
Guys, tolong bedakan antara pemimpin yang cakap dan pemimpin yang gagap. Dari dua kriteria tipe pemimpin itu aja udah beda banget dari gimana keduanya mengorganisir, komunikasi, dan berhubungan dengan bawahannya. Salah satu ciri dari pemimpin yang gagap, itu ketika dia hanya bisa memberi perintah namun dia sendiri nggak pernah memberi contoh atau teladan. Sebut aja tipe pertama ini dengan julukan “bos”. Sedangkan tipe kedua, dia nggak hanya memberi perintah tapi dia juga bisa mengarahkan bahkan bisa mengerjakan. Inilah yang disebut “Leader” atau pemimpin sejati.
Untuk menjadi seorang pemimpin sejati, kalian harus bisa mencintai bawahan kalian terlebih dahulu. Udah terlalu banyak artikel di luar sana yang menggarisbawahi bahwa seorang pemimpin harus dicintai oleh bawahannya. Dan gue nggak sepenuhnya setuju dengan mindset seperti itu. Sedangkan sampai saat ini, masih jarang banget gue baca artikel tentang pemimpin yang mencintai bawahannya.
Seorang pemimpin untuk dapat menggerakkan bawahannya, dia harus bisa menyentuh “perasaannya”, bukan meyakinkan pikirannya. Karena manusia itu beda dengan robot, manusia punya perasaan. Jadi kalau kalian ingin bawahan kalian bergerak, sentuhlah dulu perasaanya, belailah emosinya, pahami apa yang dia inginkan dan apa yang nggak dia inginkan, berikan motivasi dan dukungan emosional yang “tulus” kepadanya.
Pertanyaan gimana caranya agar kita bisa menjadi seorang pemimpin yang baik, jawaban gue sederhana. Cukup dengan mulai mencintai orang-orang di sekitar kita, mencintai pekerjaan kita, mencintai lingkungan kerja kita, dan mencintai peran kita sebagai seorang pemimpin. Karena sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pun mencintaimu, kamu menghormati mereka dan mereka pun menghormatimu.
Di tahun 2021 gue pernah ngikutin sebuah seminar kepemimpinan dengan tema “bagaimana menjadi pemimpin yang dicintai”. Lagi dan lagi tema yang sudah banyak bertebaran di berbagai media sosial, artikel, bahkan buku. Sebenernya gue nggak begitu setuju dengan tema itu, jadi di akhir seminar gue coba berdiskusi dengan salah satu peserta yang merupakan salah satu inisiator seminar tersebut. Gue mempertanyakan kenapa seorang pemimpin harus dicintai bawahannya, bukankah lebih baik seorang pemimpin lebih dulu mencintai bawahannya? Sang inisiator seminar tersebut menjelaskan dengan argumennya, tapi hati gue masih tetap nggak bisa nerima. Meskipun begitu gue tetap menghargai pendapatnya, karena setiap orang memiliki pemikirannya masing-masing.