“tidak apa – apa menjadi egois sebentar, sebab tidak semua manusia mampu memberi rasa yang sama bukan?”
-Agana >>>***<<< Agana mengerjapakan matanya pelan, merabasa sisi kasurnya yang lain, kosong dan dingin. Mata Agana berat, seolah ada lem perakat yang terus membuat matanya terpejam. Agana meraba – raba nakas di sisi kasur, mencari ponselnya namun tak kunjung ia temukan. Agana mendecak kesal, menggaruk kepala dan lehernya, duduk dan membuka matanya kemudia. Karena kesadaran yang masih setengah, Agana menatap heran seisi ruangannya, sejak kapan kamarnya penuh dengan poster bola dan bercat abu – abu. Agana ini bukan pencinta olahraga, alih – alih poster seorang pesepak bola seharusnya poster oppa – oppa korea kesukaannya yang tertempel. Masih dengan kesadaran yang setengah – setengah, Agana berdiri menuju kamar mandi, mengambil sikat gigi dan menuangkan odol. Awalnya Agana masih merasa baik – baik saja, namun kemudian rasa pahit dan aneh tidak tertahankan di lidahnya yang membuat kesadarannya penuh dan segera memuntahkan isi mulutnya. “GILA! SEJAK KAPAN ODOL RASANYA ANEH BEGINI!” Agana memekik kesal, mengambil odol yang ia pakai, Agana berjanji untuk tidak membeli odol sialan yang sudah merusak indera pengecapnya. Agana mengerjap kala membaca merek barang ditangannya, memasang wajah masam dengan pandangan kesal, “pantesan, orang ini sabun cuci muka!” Gumannya seorang diri, kembali melanjutkan kegiatannya bergosok gigi, kali ini memastikan bahwa yang ia pakai benar – benar odol setelahnya mencuci muka dan meyanggul rambutnya asal. Agana mematut dirinya di dalam cermin, lebih baik dari semalam walau lebam biru menghiasi pipi kirinya dan sudut bibirnya yang terluka. Agana tersenyum sesudah menggerakkan bibirnya asal, memeriksa apakah akan sakit jika bibirnya di gerakkan, yang untungnya itu tidak sakit sama sekali. Agana mengecek lengan dan kakinya, cukup parah mengingat Mama tidak memberi ampun sedikitpun memukulinya. Agana meringisn namun setelahnya memasang ekspresi datar, menghela nafas pelan, “Semoga nggak ada bekas,” keluh Agana mengusap bekas darah kering di kakinya. Agana akhirnya sadar ia ada di kamar Bumi, pantas saja ruangan yang ia tempati ini penuh dengan poster pesepak bola yang tertempel rapi di dinding dengan cat abu – abu, disudut kamar, Agana dapat melihat dua gitar yang terpajang cantik, satu milik Bumi dan satu milik papanya. Agana juga memilik gitar yang sama dikamarnya. Agana mengulas senyum, mengingat kembali masa – masa pertama kali dirinya dan Bumi belajar bermain gitar, dan lagu pertama yang mereka mainkan adalah lagu twinke – twinkle litte star yang berkolaborasi dengan permainan gitar sang papa. “Ihh..Agana kangen papa, kapan papa pulang?” Ujar Agana mengelus gitar yang diatasnya terukir nama papanya, Samudra Baranaka. Dan kemudian mengusap gitar milik Bumi, ukiran nama pun ada persis mirip dengan milik Papa, Sakabumi. Dering alarm memecahkan lamunan Agana, terburu menghampiri nakas dan segera mematikan alarm yang berbunyi dengan sangat brutal itu. Agana menemukan sticky note yang tertempel. Bumi pergi duluan ya, kak. Jaga diri baik – baik, kalo masih sakit nggak usah sekolah kak, itu obat salepnya Bumi taro di dekat gelas. -Bumi Agana tersenyum sumir, dirinya bergegas turun kebawah, saatnya mencari ponselnya. Agana tersenyum dan berjalan dengan langkah ringan seolah ia tidak pernah melewatkan malam menyakitkan seperti tadi malam. Agana ingat, hanya saja hatinya terlalu penuh untuk kembali menampung rasa sakit, jadi sebelum seluruhnya menempuk dan menenggelamkannya, tidak ada salahnya Agana biarkan semuanya berlalu. “KHAMCAGIYA!” Teriak Agana hampir terpeleset dari tangga jika tak cepat menahan bobot tubuhnya di pinggiran tangga. Di depannya, Jaya berdiri dengan hoodie putih yang menutupi rambutnya, wajahnya pucat dengan kedua hidungnya yang tersumpal. Detak jantung Agana berpacu keras, takut – takut yang ia temui ini bukan Jaya, melainkan pocong. Kedunya terdiam, satu menatapnya dengan tatapan sayu nan datar, yang satu tengah melotot horror. “Jaya?” tanya Agana mengerutkan keningnya, memastikan bahwa yang didepannya benar Jaya. Jaya mengangguk setelahnya kembali diam menatap Agana, Agana meneguk ludahnya kasar, paginya sangat buruk, “Lo kapan mati? Kok udah gentayangan gini? Apa yang ngebuat lo nggak tenang?” dan sebuah timpukan keras berhasil mendarat di kepala Agana. Agana menatap Jaya lebih horror, “Gila gue baru tau ternyata setan kalo mukul juga sakit anjir!” Jaya mengadah ke atas seolah miris melihat Agana, kemudian memijat pelipisnya pelan, “Na,” panggil Jaya lirih, “Gue tau bego itu gratis, tapi, please! Jangan lo embat semuanya!” Ujar Jaya memohon yang dibalas Agana dengan tendangan di tulang kering betis Jaya. “Jay,” Panggil Agana sama lirihnya dengan Jaya, bahkan Agana meremas bahu Jaya dengan tatapan memohon, memaksakan dirinya menjijit lebih lama karena Jaya yang sudah seperti titan untuknya, “Gue tau lo ngebet banget pengen mati! Please, ngecosplay jadi pocong pagi – pagi juga sama nggak lucunya!” Dan setelahnya Agana dapat melihat putaran bola mata malas Jaya. “Lo ngapain deh pagi – pagi udah buruk gini? Terus hidung lo kenapa juga? Disumpal pake daun? Berantem ama tangga lo?” Agana menangkup pipi Jaya, menglaser seluruh inci tubuh Jaya dengan matanya, Jaya yang ditatap hanya mendengus, rasanya sudah seperti di telanjangi oleh Agana. Jaya mencubit lengan Agana pelan. “Sshh….sakit bego!” Marah Agana karena Jaya mencubit lengannya, walau pelan itu sangat sakit sebab bekas semalam. Jaya menatap Agana heran, cubitannya tidak kuat bahkan biasanya Jaya mencubit Agana lebih keras, namun perempuan kepala batu itu hanya menatapnya datar. Jaya menarik lengan Agana, menyingkap lengan piyama Agana. Jaya terbelalak melihat bekas kebiruan dan luka yang mongering di sepanjang lengan Agana. Agana menarik lengannya dari Jaya cepat, “Apaan deh lo buka – buka? Pelecahan seksual nih namanya!” Sungut Agana memperbaiki lengan piyamanya. Jaya mendengus lagi, “badan tirplek gitu apanya yang bakal menggoda iman, belum kesentuh juga gue udah muntah duluan! Nggak sudi!” Balas Jaya nyelekit yang dihadahi pukulan kuat di punggungnya. “Sembarangan! Gini – gini gue yang paling bohay di sekolah!” Bela Agana, “Mau jadi jalang lo di sekolah sampe adu paling bohay?” Sarkas Jaya, Agana memerah mendengar ucapan Jaya, tangannya mengepal erat dengan kepala yang sudah berasap sebab menahan emosinya. “JAYA!!!!” teriaknya kesal, menerik bibir Jaya hingga Jaya tampak seperti bebek sekarang. “Lo kalo ngomong filter dikit kenapa deh?! Sakit nih hati suci gue!” Marah Agana. “Lah salah gue dimana anjing?! Lo yang nyao duluan!” Protes Jaya tidak ingin di salahkan, “Tau ah gelap ngambek gue!” Agana menghentakkan kakinya kesal. “Mananya yang gelap masih pagi gini, buta mata lo?” Dan untuk kesekian kalinya, Jaya mati terbunuh berkali – kali di dalam pikiran Agana. *** Setelah ungkapan kasih sayang yang dilakukan Agana dan Jaya tadi pagi, kini keduanya duduk di sofa ruang tamu Agana dengan Rena yang tengah mengobati luka – luka Agana. sedangkan Jaya tengah mendusal di punggung Rena, memeluk tubuh berisi kakaknya itu, Jaya juga bergumam dan bercerita banyak hal dengan suara pelan, walau tidak mendengar jelas Rena menanggapi seadanya, seperti iya dan tidak. Agana yang hanya diam sedari tadi menonton Jaya dan Rena jengah, perutnya sedari menuntut untuk memuntahkan sarapannya melihat Jaya bermanja layaknya anak lima tahun pada Rena. “Kakak lebih sayang Jaya atau Agana?” Tanya Jaya random, entah keberapa kalinya Jaya bertanya pada Rena, sebab rasa cemburunya melihat Agana begitu di perhatikan oleh Rena. Jaya terbiasa untuk mendapat seluruh atensi Rena dari kecil, bahkan saat kakaknya itu memilik kekasih, Jaya marah dan menetap di dalam kamarnya tanpa mau bertemu Rena. Padahal Jaya sudah menjadi siswa sekolah menengah atas. Jaya tidak juga selalu clingy pada Rena, ia hanya memanggil Rena dengan sebutan kakak saat adanya mau saja, selebihnya ‘gue-elo’ adalah kata yang ia biasanya ia gunakan pada Rena. Rena menghela nafas jengah, kali ini membiarkan pertanyaan Jaya mengambang begitu saja tanpa jawaban. Jaya mencebik kesal, “KAK!” Pekik Jaya, “Jawablah, lebih sayang gue atau Agana!” Jaya kembali menuntut. Agana berusaha mati – matian menahan tawanya melihat raut frutasi Rena. Jaya yang manja seperti ini sangat jarang muncul, bahkan di depan ibunya. Hanya pada Rena, kakaknya ia bermanja seolah tak tahu umur. “Nanya sekali lagi, gue tebas pala lo!” Kesal Rena, kembali memusastkan perhatiannya pada luka – luka Agana. Agana diam tidak mengomentari. Ini bukan pertama kalinya Agana melihat Jaya cemburu setiap Rena membantunya, namun berkali – kali dihadapkan hal yang sama, Jaya akan selalu menjadi orang yang pertama yang memanggil Rena untuk membantu Agana. Agana berterima kasih walau tak mengatakannya secara langsung. “jadi lo lebih milih Agana ya?” tanya Jaya, “Wah, gue ngambek. Jahat lo!” Setahnya Jaya beridri, meninggalkan Rena dan Agana berdua, sedang dirinya beranjak menuju dapur. Agana menatap kepergian Jaya, sahabatnya itu tampak lucu dengan bibir yang tak berhenti menggerutu. “Lo sama Jaya tiap harinya masih sama ya love languangenya?” Tanya Rena membuka percakapan dengan Agana, memecahkan hening yang sudah terbangun sedari tadi. Agana menelengkan kepalanya, “Love language? Apanya yang love language kak?” Tanya Agana balik, bingung. “Love language lo sama Jaya, physical attack.” Jelas Rena tersenyum, Agana tertawa menanggapinya. “bener sih, itu gara – gara adek kakak yang nyebelin!” adu Agana tak merasa sungkan sama sekali, walau jarang bertemu dan berbicara bersama Rena, Agana tidak merasa canggung sama sekali, Rena seolah mencipatkan suasana yang nyaman dan hangat diantara mereka. Bahkan Rena tidak segan untuk tertawa terbahak kala percakapan diantara terasa sangat lucu. “Mewakili Jaya gue minta maaf ya, gue bahkan nggak tau kalo Jaya bisa sampe segininya sama lo.” Desahan nafas Rena terdengar lelah, “Jaya itu badannya aja gede, pemikirannya nggak beda jauh kek anak kecil. Kadang – kadang gue kepikiran dan takut besok kalo gue ninggalin dia sendirian, dia bakal gimana coba?” Rena mengeluh untuk pertama kalinya tentang Jaya, namun menurut Agana itu tidak terdengar seperti keluhan, melainkan kekhawatiran seorang kakak, layaknya perasaan Agana pada Bumi. Agana mengulas senyum, “Walau Jaya nyebelin, tapi Jaya tu peka sama peduli banget dengan sekitarnya kak. Dan sekarang gue tahu kenapa Jaya bisa gitu, soalnya Jaya punya kakak sehebat kak Rena!” Ujar Agana menggebu yang dihadiahi tawa renyah oleh Rena. “Mujinya bisa aja, entar gue terbang, bolong nih atap rumah lo.” “Terbang aja kak, masalah atap rumah mah gampang, nyolong tu atap rumah tetangga.” Dan keduanya kembali tertawa, “Kak,” Panggil Agana pelan, matanya memandang lurus, “Bukan Jaya yang ngelakuin ini ke gue, dia udah berbaik hati dan repot – repot manggil kakak buat obtain gue, sampein rasa terimakasih gue buat dia ya kak.” Jelas Agana yang dibalas anggukan pelan oleh Rena. “Na,” panggil Rena, matanya fokus pada perban yang tengah membalut kaki Agana, “Jangan datang ke Jaya cuma disaat lo perlu merasa dicintai,” Agana terdiam menatap Rena, kali ini tidak ada tatapan jenaka di wajah Rena, aura yang dikeluarkan Rena juga tidak lagi hangat, “Lo tahu mencintai tanpa dicintai kembali itu sakit, gue rasa tanpa perlu gue jelasin gimana rasanya, lo udah ngerasain sendiri. Gimana rasanya saat lo mencintai mama lo dengan sepenuh hati tapi mama lo cuma manfaatin lo untuk jagain Bumi?” Perban terkahir Rena selasai bersamaan dengan perkataannya pada Agana, sang empu yang dituju hanya tersenyum culas, “Na, jangan jadi cewek gampangan yang ngais cinta dari cowo setulus Jaya,” Rena kembali berujar, kali ini nada bicaranya dingin dan menohok bahkan Agana dapat menangkap pandangan merendahkan yang dilayangkan oleh Rena. Agana tidak dapat membalas apapun perkataan Rena. “Udah siap?” Suara Jaya mengitrupsi ketegangan yang terjadi di antara keduanya, Agana masih terdiam dengan raut wajah pias, berbeda dengan Rena yang sudah merubah raut wajahnya tampak tidak seperti terjadi apapun antara dirinya dan Agana. “Udah,” Jawab Rena mengacak rambut Jaya pelan. “Kakak pulang, Jaga Agana baik – baik, telpon kakak kalo ada apa – apa!” Ingat Rena yang dibalas anggukan oleh Jaya. Jaya merebahkan dirinya di sofa, Agana bangkit dan mengantarkan Rena ke depan pintu, memaksakan senyumnya. Rena tersenyum sendu, “Kayak lo yang mau ngelakuin apapun supaya Bumi bisa hidup dengan nyaman, sama kayak apa yang gue lakuin ke Jaya, Na. kita sama – sama kakak walau umur kita beda, gue harap lo ngerti maksud gue.” Agana menangguk pelan, “Lo nggak usah khawatir kak, Jaya bukan apa – apa untuk gue.” Akhirnya Agana membalas perkataan Rena, Rena hanya diam dan beranjak pergi tanpa seutas kata apapun, bahkan memandang Agana saja tidak. Agana tersenyum getir, Rena tidak salah, benar, Agana hanya terlalu egois membiarkan Jaya terus berada di sisinya tanpa memberi kepastian yang nyata. (bersambung)Bagian 18: “Pemikiran yang Sama”
Senin 06-06-2022,05:48 WIB
Editor : novantosetya
Kategori :