Ketika Gelar Akademik Kehilangan Makna
*Bahren Nurdin
Jika dahulu kita sangat akrab dengan istilah ‘haji mumpung’ maka akhir-akhir ini masyarakat mulai terbiasa dengan gelar-gelar akademik mumpung; seperti ‘dokter mumpung’ dan ‘master/magister mumpung’. Jika dulu haji mumpung adalah ‘jatah’ haji yang diberikan pemerintah kepada para pejabat Negara. Sehingga, mumpung masih menjabat boleh naik haji beberapa kali. Jadilah ‘haji mumpung’ (terkadang tanpa disadari haji yang dilakukan kehilangan tujuan utama haji itu sendiri yaitu untuk beribadah kepada Allah).
Tren ini ternyata merambah ke bidang akademik. Banyak sekali para pejabat Negara yang ‘mumpung’ sedang menjadi pejabat maka kesempatan untuk memperoleh kesempatan untuk sekolah S2 dan S3. Mumpung semua fasilitas masih ditanggung oleh Negara. Mumpung ada beasiswa. Mumpung para dosen masih segan sehingga urusan akademik jadi gampang. dan mumpung-mumpung lainnya.
Tentu saya tidak perlu menyebutkan satu persatu pejabat-pejabat di Provinsi Jambi ini yang sedang kuliah ‘mumpung’ ini. Ada sebuah cerita anekdot yang berkembang di tengah masyarakat. Seorang pejabat ditanya “Wah Bapak sudah S2 ya, Pak? Penelitiannya tentang apa ya, Pak?” Sang pejabat menjawab “Wah lupa saya, kalo itu Tanya staf saya saja”. Jadi yang kuliah siapa? Sang Pejabat atau stafnya?
Namun demikian, fokus tulisan ini sebenarnya bukan masalah ‘mumpung’nya. Saya tidak ingin terlalu jauh mendiskusikan itu karena kesannya sangat personal dan nanti saya bisa-bisa dibilang iri. Sah-sah saja kerena mereka sedang mendapatkan kesempatan itu walaupun sesungguhnya sangat tidak etis memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Yang menjadi kegundahan saya adalah hilangnya makna dan roh gelar-gelar akademik akibat dari hal-hal seperti ini.
Ada beberapa hal yang perlu dikritisi menyangkut hal ini secara akademis. Pertama, hilangnya makna dan tanggungjawab akademik. Apa maknanya seseorang yang menyandang gelar Magister (Master) atau Doktor (Ph,.D)? Gelar-gelar seperti ini tentu memiliki makna dan nilai. Ketika seseorang memiliki gelar Master itu berarti mereka memiliki keahlian teoritis dan praktis terhadap bidang ilmu tertentu. Menyandang gelar Master atau Magister sudah dapat dipastikan mereka mupuni dibidang tersebut. Magister Manajemen (MM) minsalnya, mereka mengetahui banyak tentang teori-teori manajemen dan secara akademik dapat diaplikasikan di tengah masyarakat. Sehingga penelitian yang dilakukan tidak lagi sekedar penuhan tugas akhir kuliah. Begitu juga gelar doktor atau Ph.D yang semestinya sudah berada pada tingkat ‘pemikir’. Namun dengan ‘doktor’ mumpung ini, semua ini menjadi semu dan kehilangan ‘greget’nya. Tentu saja, dengang sendirinya kehilangan tanggung jawab akademis.
Kedua, kedangkalan ilmu. Dapat dipastikan, oleh karena kesibukan sebagai pejabat Negara, maka kelas yang diikuti oleh para pejabat yang sedang kuliah adalah kelas eksekutif. Kelas Sabtu dan Minggu. Lihat saja di salah satu perguruan tinggi negeri kita, hari Sabtu dan Minggu akan berjejer mobil ‘negara’ berpelat merah, dari yang 2 angka hingga 4 angka. Logikanya, bagaimana bisa disebut ‘Master/Magister’ sementara kuliah saja hanya dua kali seminggu. Ditambah lagi, tugas kuliah, penelitian dan penulisan tesis dikerjakan oleh bawahan. Maka jadilah magister-magister yang dangkal ilmu pengetahuan.
Ketiga, gelar akademik dan kinerja pemerintah. Kita melihat fakta hari ini, bahwa para pejabat yang menyandang gelar akademik yang mupuni tidak berbanding lurus dengan kinerja pemerintahan. Jika kita terlusuri lebih dalam, para pejabat yang tersangkut korupsi adalah mereka-mereka yang memiliki gelar akademik yang tinggi. Ini juga membuktikan bahwa gelar-gelar akademik tersebut belum berada pada tataran ilmu dan pengetahuan tapi sebatas ‘labeling’. Semata hanya sebuah label.
Keempat, meciderai rasa keadilan. Cobalah seorang Pegawai Negeri Sipil yang tidak memiliki jabatan mencoba mengajukan diri untuk kuliah, apa yang terjadi? Ada sederetan prosedur yang harus dilalui dan cenderung dipersulit. Jika pun diberikan izin, maka semua tunjangan akan dipotong karena dianggap tidak menjalankan tugas. Bagaimana dengan pejabat yang sedang kuliah? Semua itu menjadi tidak berlaku. Seharusnya, jika memang ingin melanjutkan pendidikan, tinggalkan jabatan yang sedang dipangku. Keadilan yang dirobek-robek di depan mata.
Masih banyak lagi sebenarnya yang perlu menjadi perhatian kita menyangkut hal ini. Sekali lagi, bukan niat dan kemauannya yang salah tapi waktunya yang tidak tepat karena mereka sedang menyandang tugas Negara. Sangat baik jika para pejabat Negara ini memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi dengan gelar akademik yang ‘canggih’. Tapi jangan sampai ilmu tinggi dengan gelar-gelar akademik yang banyak itu kemudian hanya sebatas ‘label’ yang kerontang akan makna. Apa lagi hanya dijadikan alat pencitraan politik. Dengan title akademik yang panjang maka dicitrakan sebagai pemimpin atau calon pemimpin yang baik dan hebat padalah gelar akademik tersebut didapat dengan cara-cara yang tidak semestinya. Ini juga salah satu bentuk pembohongan public dan bentuk lain pembodohan masyarakat. Dengan tidak bermaksud menyinggung siapa pun, semoga tulisan ini dapat memberi ‘value’ lain dari fenomena yang terjadi di tengah masyarakat, amin.