Diskursus Pemilihan Gubernur dalam RUU Pilkada

Rabu 10-10-2012,00:00 WIB
Oleh:

Biaya politik tinggi dalam pemilihan gubernur secara langsung sebenarnya dapat ditekan melalui Pilkada yang dilaksanakan secara serentak, yaitu menyamakan waktu tahapan penyelenggaraan Pilkada antara pemilihan gubernur dengan bupati/walikota. Mekanisme ini sudah masuk didalam RUU Pilkada yaitu pemilihan kepala daerah baik itu Gubernur, Bupati/walikota dalam tahun yang bersamaan maka dilaksanakan secara serentak.

Antisipasi biaya politik tinggi juga dapat diantisipasi melalui pengaturan sumber dana yang digunakan oleh kandidat. Selama ini, dana yang digunakan oleh kandidat kepala daerah secara resmi dapat dilihat didalam rekening bank yang didaftarkan kepada penyelenggara Pemilu. Didalam rekening tersebut dapat dilihat cashflow penggunakan dana oleh seorang kandidat. Persoalannya kemudian, apakah dapat dipastikan seluruh dana yang digunakan oleh kandidat hanya masuk dan keluar dari satu nomor rekening yang didaftarkan tersebut?

Untuk mengantisipasi biaya politik tinggi salah satunya dapat dilakkan melalui pengaturan yang jelas terkait dana yang digunakan oleh kandidat dan mesti diiringi juga dengan sanksi yang tegas. Argumentasi biaya politik tinggi menyebabkan kecenderungan kepala daerah yang terpilih akan berprilaku korup dengan asumsi mengembalikan dana yang dikeluarkan adalah benar adanya. Tetapi permasalahan ini jangan kemudian memunculkan sistem yang justru kontra produktif  terhadap tujuan dari demokrasi itu sendiri.

Belum lagi persoalan legitimasi dimana Gubernur yang dipilih oleh DPRD Provinsi secara psikologis tidak memiliki hubungan emosional secara langsung dengan masyarakat. Calon Gubernur yang akan berkompetisi tidak memiliki motivasi kuat untuk membangun komunikasi dan hubungan langsung dengan masyarakat. Bagi calon Gubernur nantinya, lebih penting membangun hubungan dengan anggota DPRD Provinsi dibanding masyarakat. Legitimasi Gubernur yang dipililh oleh DPRD juga jauh lebih rendah dibandingkan Gubernur yang dipilih secara langsung.

Pemilihan Gubernur oleh DPRD Provinsi juga menyebabkan penyampaian visi, misi dan program oleh calon Gubernur di sidang paripurna di DPRD menjadi tidak memiliki pengaruh terhadap keterpilihanannya. Padahal demokrasi kita menuju agar bagaimana rakyat memiliki pemimpin karena program, perdebatan politik bukan lagi berada pada ranah suka-tidak suka terhadap seorang calon, tetapi menuju kearah perdebatan dan adu program yang lebih memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang ada di masyarakat.

Selain itu, Gubernur terpilih merasa jika dia berhasil terpilih karena mutlak peran dari anggota DPRD, bukan karena peran masyarakat. Konsekuensinya dari hal ini adalah tanggungjawab Gubernur yang diterjemahkan dalam program-program pembangunan lebih condong pada kepentingan yang memilihnya (anggota DPRD) daripada kepentingan masyarakat itu sendiri. Dan jika ditarik pada tataran teoritik, maka pemilihan Gubernur oleh DPRD dapat membiaskan kembali sistem check and balances di tingkatkan pemerintahan daerah.

Usulan perubahan sistem pemilihan Gubernur sebenarnya bersumber dari persoalan hubungan atau pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah. Pada dasarnya hal ini merupakan ihktiar untuk mencari keselarasan penggunaan kekuasaan pemerintahan negara secara territorial. Terkait hal tersebut, solusi yang lebih tepat untuk diambil adalah mengatasi akar persoalan melalui perubahan regulasi yang tepat sasaran.

 

* Alumnus Jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand), tinggal di Kota Jambi.

Tags :
Kategori :

Terkait