Oleh: Wein Arifin S.IP*
Diskursus perubahan sistem pemilihan gubernur mencuat ketika Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri mengusulkan RUU Pilkada. Saat ini, RUU Pilkada sedang dibahas oleh DPR sebagai bagian dari program legislasi nasional tahun 2012. Dalam RUU tersebut, Pemerintah mengajukan usulan perubahan sistem pemilihan Gubernur yaitu merubah sistem pemilihan Gubernur secara langsung menjadi sistem pemilihan Gubernur secara perwakilan oleh DPRD Provinsi.
Usulan ini tentu saja menimbulkan kontroversi ditengah masyarakat. Pihak yang tidak mendukung usulan ini berargumentasi jika pemilihan dengan sistem perwakilan di DPRD Provinsi adalah bentuk kemunduran bagi demokrasi, sementara pihak yang mendukung usulan ini berargumentasi jika pemilihan oleh DPRD Provinsi adalah upaya untuk memperkuat posisi Gubernur sebagai “unit antara” pemerintah pusat di daerah. Konsekuensi logis dari hal ini adalah pemilihan kepala daerah di “unit dasar” yaitu ditingkat kabupaten/kota harus berbeda dengan pemilihan kepada daerah di “unit antara” yaitu ditingkat provinsi .
Argumentasi usulan Pemerintah ini dapat dibaca pada dokumen naskah akademis yang menyertai RUU Pilkada tersebut. Pemerintah mendasarkan pada argumentasi konstitusional dan konseptual. Secara konstitusional, dalam pasal 18 (ayat 4) UUD 1945 hasil amandemen kedua dinyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pasal dalam konstitusi ini secara tegas tidak mengharuskan Gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat, melainkan hanya secara demokratis. Artinya pemilihan tersebut dapat dilaksanakan secara langsung atau secara perwakilan. Hal ini berbeda dengan pengaturan kontitusi terhadap sistem pemilihan Presiden & Wakil Presiden. Dalam pasal 6A (ayat 1) UUD 1945 hasil amandmen ketiga dinyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Sementara itu secara konseptual, pemerintah berargumentasi jika konsep otonomi daerah menempatkan Gubernur tidak hanya sebagai kepala pemerintah di daerah, melainkan karena jabatannya berkedudukan sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi. Sebagai wakil pemerintah pusat didaerah, Gubernur bertanggungjawap kepada Presiden, sementara sebagai kepala pemerintahan didaerah Gubernur bekerja dengan pengawasan dari DPRD Provinsi (prinsip check and balances). Terkait hal tersebut, dibutuhkan pengaturan untuk memperkuat posisi Gubernur terhadap Pemerintah Pusat dan posisi Gubernur terhadap Kabupaten/Kota.
Pemerintah berkeinginan jika pemilihan Gubernur oleh DPRD Provinsi bertujuan untuk mengeliminir persoalan-persoalan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah serta mengatasi ambigunya posisi Gubernur, disatu sisi sebagai kepala pemerintahan didaerah dan disisi yang lain sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Tujuan jangka panjang yang diinginkan adalah penguatan posisi Gubernur dan menyelesaikan persoalan-persoalan rentang kendali pemerintah pusat ke daerah yang terputus karena Gubernur tidak merasa sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Antara Persoalan dan Solusi
Kesimpulan dari gambaran diatas bahwa ada persoalan terkait dualisme posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan sebagai kepala pemerintahan didaerah dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut dibutuhkan solusi dengan merubah sistem pemilihan Gubernur. Terkait hal tersebut, penulis menilai jika antara persoalan dan solusi yang ditawarkan tidak singkron atau tidak nyambung.
Pertanyaannya kemudikan adalah apakah dengan solusi merubah sistem pemilihan Gubernur dari langsung menjadi perwakilan dapat menjawab persoalan-persoalan diatas? Penulis menilai jika persoalan-persoalan diatas tidak otomatis terselesaikan dengan diubahnya mekanisme pemilihan Gubernur. Gubernur hasil pemilihan oleh DPRD tidak secara otomatis merasa sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, bahkan kecenderungan dari pengalaman terdahulu, Gubernur hasil pemilihan oleh DPRD Provinsi justru merasa sebagai wakil dari partai politik yang mengusung mereka ketika pemilihan. Boro-boro ingin menguatkan posisi gubernur, gubernur hasil pemilihan DPRD justru memperkuat rivalitas antara Gubernur dan Pemerintah pusat ketika partai-partai yang mendukung dia dalam pemilihan di DPRD berasal dari partai-partai non pemerintah (oposisi) ditingkat Parlemen.
Pemerintah juga beranggapan jika persoalan tata pemerintahan didaerah dapat terselesaikan dengan jalan merubah sistem pemilihan Gubernur. Bahasa lainnya, Pemerintah berargumentasi jika persoalan tata pemerintahan didaerah bersumber dari sistem pemilihan gubernur. Persoalan tata pemerintahan didaerah yang berkaitan dengan pengaturan otonomi daerah tentunya tidak bersumber dari sistem pemilihan Gubernur. Sumber persoalan tata pemerintahan didaerah adalah belum jelasnya posisi Gubernur dalam kaitannya dengan peran dia sebagai wakil pemerintah pusat didaerah. Solusinya terkait hal ini adalah melakukan penataan ulang struktur dan kewenangan pemerintahan didaerah melalui revisi UU Pemerintahan Daerah yang kebetulan saat ini juga sedang dibahas oleh DPR.
Persoalan Biaya Politik Tinggi
Selain hal tersebut diatas, Pemerintah berargumentasi jika pemilihan Gubernur oleh DPRD dapat menekan biaya politik tinggi yang terjadi selama ini terjadi dalam pemilihan langsung. Dalam pemilihan Gubernur secara langsung, seorang kandidat gubernur harus mengeluarkan uang dalam jumlah tidak sedikit yaitu antara 30 sampai 50 Milyar, tergantung letak geografis daerah dan jumlah mata pilih di daerah tersebut. Dengan sistem pemilihan oleh DPRD Provinsi (perwakilan), maka angka yang fantastis ini dapat ditekan. Pertanyaannya kemudian apakah asumsi ini benar? Jika konteksnya uang negara yang digunakan untuk penyelenggaraan Pilkada, maka jelas secara siginifikan dana yang digunakan tidak sebesar pemilhan langsung. Tetapi jika konteksnya adalah ongkos politik yang dikeluarkan oleh kandidat Gubernur maka tujuan untuk menekan biaya politik tidak akan berubah secara signifikan.
RUU Pilkada sebenarnya telah mengantisipasi jika terjadi politik uang dalam Pemilihan Gubernur oleh anggota DPRD Provinsi. Dalam Pasal 30 RUU Pilkada dinyatakan jika calon gubernur yang merasa dirugikan atau mempunyai bukti awal adanya dugaan politik uang yang terjadi sebelum, selama, dan setelah pemilihan maka yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung (MA) dan apabila keputusan terhadap keberatan tersebut terbukti, maka MA dapat membatalkan hasil pemilihan dan terhadap anggota DPRD Provinsi yang terbukti melakukan atau turut serta melakukan politik uang dapat dijatuhkan sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD Provinsi dengan tidak menghilangkan perbuatan pidananya.
Pertanyaannya kemudian adalah seberapa efektif sanksi yang sangat berat tersebut dapat menekan atau bahkan menghilangkan potensi terjadinya politik uang dalam pemilihan Gubernur oleh DPRD?. Jika kita lihat kebelakang, sudah menjadi rahasia umum terjadi proses “jual beli” dukungan suara ketika dahulu masih berlaku sistem pemilihan Gubernur oleh DPRD Provinsi. Bahkan dalam pemilihan langsung pun, “jual beli” dukungan partai politik juga diduga terjadi. Artinya sistem pemilihan gubernur malalui sistem perwakilan ataupun sistem langsung tidak menjamin 100% bersih atau tidak terjadi politik uang.