LENGKAP nian sumber stres di negeri ini. Sumpek. Itulah yang banyak dikatakan orang saat ini. Dan kesumpekan bisa meledak ketika ruang benak tak mendapat jendela ventilasi. Segala peristiwa yang terhambur di media cenderung menggunung. Baru saja kita ribut soal tawuran antarpelajar yang membuat terperanjat karena kian sadis dan menular. Sulit memahaminya, bahkan baru pada tataran
shock: apa yang terjadi. Nalar belum sampai pada ’’mengapa bisa terjadi’’ dan ’’bagaimana mengatasi’’. Kekerasan lain menjadi tontonan di media, terutama televisi, yang perlahan akan terinternalisasi sebagai
proses pembelajaran: kekerasan bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah. Masyarakat seakan tak punya pilihan untuk tidak terpapar apa yang dilihat dan didengar tiap saat.
Kita juga melihat tanpa malu dan sungkan, para pemangku kekuasaan mempertontonkan permusuhan lewat cara verbal dan emosional di depan rakyat. Berbagai kejahatan kerah putih dibela mati-matian. Korupsi menjadi sesuatu yang biasa dan ditoleransi, bahkan berupaya dilindungi.
Logikanya, sesuatu yang merugikan orang banyak semestinya menjadi prioritas untuk diberantas. Minggu ini kita disuguhi unjuk kekuasaan yang diragukan untuk menegakkan kebenaran. Seolah bertujuan mengalihkan perhatian dengan membalut kejahatan dengan kejahatan lain yang kerap tidak menyentuh akar masalah. Bagaikan membalut masalah dengan kulit bawang. Kekerasan lain ditujukan pada diri sendiri. Makin banyak orang yang menikam kebahagiaan dan masa depannya lewat perilaku membahayakan. Yakni, pemakaian obat-obatan terlarang, melukai diri sendiri, sampai memutuskan pilihan untuk mengakhiri hidup. Tragis. Kita begitu mudahnya melemparkan kesalahan, kepada diri sendiri maupun orang lain, sebagai
jalan keluar mengatasi kenyerian dan ketidaknyamanan batin. Kita binasakan diri sendiri atau orang lain. Begitu banyak pembiaran yang disengaja atau tidak, tampaknya sesaat
tertangani, namun dampaknya akan melanggengkan perilaku negatif. Yang lebih parah, hal tersebut akan menyeret orang lain yang sesungguhnya baik
ikut arus terhadap kondisi buruk. Atau, memicu kemarahan bahkan tindak kekerasan dari mereka yang frustrasi. Tak pelak, kondisi tertekan dalamketidakpastian dan ketidakadilan akanmemicu depresi masal yang manifestasinya amat nyata dalam keseharian kita saat ini.
Potensi Kebaikan dan Syukur
Tema Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 10 Oktober kemarin amat relevan bagi seluruh dunia yang memang sedang terlanda krisis berbagai dimensi. Yakni, Depresi, Sebuah Krisis Global. Tema itu tidak semata menyodorkan masalah yang membuat gelisah, namun juga tawaran untuk mengatasi dan mengantisipasi dampak bukan hanya kekinian, namun juga kualitas manusia dalam jangka panjang. Yang lebih
penting, bagaimana kita bisa menggali kembali potensi yang seolah selama ini tersembunyi. Modal sosial yang dikonsepkan sebagai gambaran kehidupan sosial yang terdiri atas tersedianya jejaring atau
keterhubungan, norma dan nilai-nilai, serta rasa percaya. Itu semua membuat kita merasa mampu berpartisipasi bersama-sama untuk menggapai tujuan yang diinginkan. Pada gilirannya,
kombinasi tersebut sangat efektif untuk menguatkan kepaduan kelompok sosial. Hal tersebut akan memunculkan rasa saling percaya, kesetiaan, dan merasa saling bertanggung jawab. Dukungan sosial yang positif juga akan memberikan perlindungan dari kerusakan mental serta mampu menawarkan penyembuhan, personal maupun kelompok masyarakat. Rasanya, modal tersebut kita miliki. Sikap gotong
royong dan keguyuban yang dahulu marak dalam kehidupan masyarakat terasa tenggelam akhir-akhir ini oleh kompetisi hebat untuk memperebutkan nafsu duniawi yang tak akan habis. Akibatnya, selalu ada sekelompok manusia yang amat kaya raya di negeri ini, namun ada pula yang berada di bawah garis layak standar hidup manusia. Ketidakadilan yang meluas seperti itu juga akan mengendurkan
kohesi sosial dalam menata kehidupan yang tenang dan sehat.