oleh M. ANWAR DJAELANI*
KAMIS lalu semua jamaah haji melakukan wukuf di Arafah. Hikmah atas aktivitas wukuf dapat diperoleh semua orang, baik oleh yang sedang berhaji maupun yang tidak. Adalah menarik pelaksanaan wukuf sekarang ini hanya berselisih tiga hari sebelum peringatan Sumpah Pemuda di negeri ini. Seolah-olah ada pesan: Pemuda, wukuflah, lalu bergeraklah! ”Haji adalah Arafah”. Karena itu, pada Hari Arafah sekarang ini semua
jamaah haji wajib melaksanakan wukuf di Arafah. Wukuf adalah nama ibadah, yaitu bagian dari rukun haji. Sementara itu, Arafah adalah nama tempat wukuf harus dikerjakan. Mengacu pada kata arafah yang bermakna mengenal, wukuf di Arafah adalah aktivitas berdiam diri dalam waktu tertentu yang bertujuan (lebih) mengenal Allah. Di saat para jamaah haji itu berefleksi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, pada saat yang sama dapat dipastikan bahwa mereka juga akan bermuhasabah (berintrospeksi). Misalnya: Sudah benarkah saya dalam menjalankan amanah Allah sebagai khalifah di
muka bumi ini? Sudah berusahakah saya untuk kafah mengikuti syariat Allah seperti yang telah diatur-Nya lewat Alquran dan hadis? Menjadi menarik jika yang melakukan refleksi itu seorang pemuda: Apa pesan Alquran terhadap pemuda? Sudahkah saya sebagai pemuda mengambil peran sebagaimana contoh-contoh pemuda dan pemudi hebat yang nama dan prestasinya diabadikan Alquran? Ternyata, Alquran memberikan porsi yang cukup dalam menggambarkan siapa dan peran strategis apa yang bisa dimainkan pemuda. Misalnya, Alquran berkisah tentang Ibrahim, sosok pemuda yang kuat dalam berdakwah. Dia berani
menghancurkan berhala-berhala buatan bapaknya. Juga, sebagai akibatnya, dia harus berhadapan dengan Namrudz –penguasa ketika itu– yang zalim.
Teladan pemuda yang berakidah kuat, sabar, dan lembut ada dalam diri Ismail. Lihatlah ketika Ibrahim –sang ayah– menyampaikan mimpi (baca: wahyu Allah) bahwa Ismail harus dikurbankan. Ketika Ibrahim memberi Ismail waktu untuk berpikir, Ismail menggeleng, ”Tak perlu. Mari kita segera tunaikan perintah itu.” Musa adalah contoh lain. Dia pemuda yang haus ilmu. Kita ingat bagaimana sikapnya yang sangat antusias saat berguru kepada Nabi Khidir as. Kecuali itu, Musa pun dikenal sebagai pemuda tanpa pamrih. Dia tak suka ”obral jasa”, lalu menagih ”biaya investasi”-nya. Lihatlah ketika dia membantu dua perempuan –anak Nabi Syu’aib as– saat mereka memberi minum ternaknya.Cermatilah Yusuf. Dia pemuda yang mampu membendung godaan syahwat, sekalipun itu datang dari perempuan
kaya dan terhormat. Untuk pilihan sikap yang teguh itu, dia pun ikhlas saat harus dipenjara karenanya. Lalu, adakah contoh dari kalangan pemudi? Maryam adalah contoh perempuan muda yang mampu menjaga
kehormatannya (tentang ini baca QS 21: 91 dan QS 66: 12). Di pentas sejarah, pemuda adalah pelopor pendobrak tatanan yang rusak. Mereka bergerak dan menggantikannya dengan tatanan baru yang
jauh lebih baik. Lihatlah sejarah! Pemudalah yang kali pertama menyambut positif kehadiran Islam. Setelah Khadijah menyatakan keislamannya, Ali bin Abi Thalib RA menyusul di hari kedua kerasulan
Muhammad SAW. Ketika itu Ali RA berusia sepuluh tahun. Selanjutnya, sebagai pemuda, Ali RA memiliki keberanian yang tidak tertandingi.
Ali RA pun dikenal sebagai pemudan berilmu luas. ”Jika saya adalah gudang ilmu, Ali adalah pintunya.” Demikian Nabi SAW pernah memberikan tamsil tentang tingginya ilmu Ali RA. Bagaimana Indonesia? Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah salah satu tonggak sejarah Indonesia. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sulit dipisahkan dari kontribusi besar ”hasil karya” pemuda pada 1928 –yang ketika itu membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat orang Indonesia asli.
Sejarah menyebutkan bahwa sangat banyak di antara tokoh-tokoh penting yang turut ”mewarnai dunia” adalah orang-orang yang di masa mudanya aktif berorganisasi. Lewat organisasi, pemuda terlatih menjadi tangguh dalam bergerak dan berjuang. Terakhir, saat kita ”wukuf” (berefleksi) sekarang ini, mari ingatlah selalu nasihat Imam Syafi’i agar kita (terutama pemuda) terus beraktivitas dan berjuang. ”Berlelah-lelahlah! Manisnya hidup terasa setelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir air menjadi jernih dan jika tidak mengalir akan keruh.”
*) Aktivis Pelajar Islam Indonesia di akhir 1970-an dan alumnus Pascasarjana Unair