Oleh Hermawan Kartajaya
Ketika hiruk-pikuk reformasi 1998 terjadi, saya menemui Sri Sultan Hamengku Buwono X. Visinya yang tajam mengatakan, Indonesia baru akan sangat beda dari zaman sebelumnya, yaitu era Orde Baru. Karena Jogja sangat tenang ketika Jakarta chaos, ada kesempatan untuk stealing the moment buat kota yang kesohor dengan olah gudeg dan seni budaya itu.
Saya pun lantas terlibat dalam pewujudan visi Sultan di Jogja dengan dua hal: branding dan training. Melalui berbagai riset dan kerja sama dengan Daniel Surya \"waktu itu masih di Landors\", diluncurkanlah Jogja, Never Ending Asia.
Setelah berdiskusi dengan para tokoh masyarakat, melakukan riset, didapatlah kesimpulan bahwa orang memang agak susah mengucapkan nama Jogjakarta. Karena itu, Jogja jadi nickname yang lebih dipilih. Kalau digambar berdasar gaya sketsa tangan ngarso dalem sendiri, Jogja merupakan simbol takhta untuk rakyat dalam bentuk payung dan wong cilik.
Never Ending Asia dipilih dengan pertimbangan agar langsung bisa masuk club of Asia. Singapura adalah New Asia, Malaysia sampai sekarang masih Truly Asia. Sedangkan Jogja merupakan kota Asia paling selatan yang semua kepercayaan Asia-nya jadi fondasi kebudayaan dan hidup sehari-hari.
Visi Sri Sultan pun jadi kenyataan. Setelah reformasi, Indonesia mengalami tiga D. Yaitu, demokratisasi, desentralisasi, dan diversifikasi. Dengan demikian, tiap provinsi bahkan kabupaten pun jadi otonomi. Bahkan harus menampilkan diferensiasi masing-masing supaya bisa dipasarkan ke TTIS (tourism, trade, investment, and service).
Pada 10 Oktober 2012, Sri Sultan dilantik sebagai gubernur kepala Daerah Istimewa Jogjakarta lewat penetapan, bukan pemilihan. Berarti, Jogja sudah makin bisa memasarkan dirinya sendiri secara otonom.
Jogja, Never Ending Asia sudah waktunya di-review bahkan dipertajam lagi sebagai sebuah branding dari Jogja Baru. Embrionya akan mulai pada 30 November 2012!
Bagaimana pendapat Anda\" (*)