BISA dimaklumi bila ada yang tak plong atas pengungkapan dua nama anggota DPR yang dinilai memalak BUMN oleh Menteri Dahlan Iskan. Sebelumnya, dia memang menyebut sekitar sepuluh nama, bisa lebih sedikit atau kurang sedikit. Ketika yang disebut hanya dua, tentu sang menteri masih dianggap punya ’’utang’’. Dahlan sendiri akan setor nama lagi pada Rabu besok ke Badan Kehormatan (BK) DPR. Bagaimanapun, langkah Dahlan tersebut merupakan perjuangan melawan iklim pembiaran dan ’’ketakutan’’ yang selama ini berkembang. Meski pemerasan di BUMN sudah menjadi pergunjingan, baru Dahlan yang berani mengambil risiko. Dahlan tentu bisa tak memilih melawan arus deras seperti ini kalau hanya sekadar untuk mencari sensasi.
Akal sehat boleh mengharapkan langkah kecil itu bisa menjadi bagian dari upaya besar bangsa ini untuk memberantas korupsi. BUMN harus bergabung bersama arus besar masyarakat yang sudah mual dengan berbagai pencolengan uang negara. Arus itu kian hari kian kuat. Niat teguh ini perlu dijaga agar pokok masalah, bahwa telah terjadi pencurangan terhadap aset perusahaan negara, tak dikaburkan oleh silang sengketa setelah kedatangan Dahlan memenuhi undangan BK. Upaya itu juga merupakan bagian dari menjaga amanah. Sekarang posisi rakyat kian kuat. Apalagi, hampir Rp 1.000 triliun di antara Rp1.600 triliun dibayar oleh pajak rakyat. Mereka berhak menuntut penjelasan akuntabilitas setiap rupiah yang dikelola negara. Keamanahan itu perlu dijaga karena rakyat telah dipaksa menyerahkan sebagian penghasilan atau hartanya untuk membiayai penyelenggaraan negara,
termasuk menggaji menteri BUMN dan anggota DPR. Pemimpin institusi negara dengan aset ribuan triliun sudah semestinya berupaya membentenginya. Terutama dari incaran orang-orang berkuasa yang tunaetika. Dengan memasang badan, diharapkan jajaran di bawahnya bisa bersikap sama dalam menghadapi upaya
pemerasan. Meski, bisa saja lebih ’’aman’’ membiarkan aset yang diamanahkan kepadanya dikerat-kerat.
Dukungan arus bawah, arus menengah, dan arus atas yang kuat terhadap setiap apa pun upaya memberantas korupsi dan menjaga amanah itu semakin kuat. Bagaimanapun, Indonesia harus makin transparan dan akuntabel. Siapa pun yang dititipi kekuasaan oleh rakyat tak perlu tersinggung dengan kritik dan koreksi. Juga, jangan sampai lupa diri dengan kekuasaannya sehingga menabrak pagar etika, bahkan menerjang pasal pidana.
Fokus kita sering terkuras ke pasal 3 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: ’’Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).’’ Pasal itu perlu dikutip komplet untuk mengingatkan siapa pun. Apakah perbuatan kita, terlebih yang punya kuasa, sudah terjerumus
memenuhi pasal itu? Kalau iya, itulah bala kurawa koruptor. (*)