JAKARTA -- Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mengaku siap memberikan penjelasan kepada Komisi VII DPR, terkait temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang inefisiensi sebesar Rp 37, 6 Triliun di PT PLN saat era kepemimpinannya. Menurut rencana Selasa (13/11) hari ini Dahlan Iskan memenuhi panggilan Panita Kerja (Panja) Listrik di komisi VII DPR. Sebelumnya, dua kali Panja Listrik Komisi VII DPR memanggil Dahlan. Namun karena kesibukannnya, Dahlan tidak bisa menghadiri pemanggilan itu untuk memberikan klarifikasi.
Dahlan memastikan akan memberikan berbagai penjelasan yang dibutuhkan perihal inefisiensi temuan BPK yang kini telah berkembang menjadi isu politik . Dalam beberapa penjelasan singkatnya, antara lain Dahlan mengatakan saat itu kebutuhan gas bagi delapan unit pembangkit PLN yang berbasis dual firing tidak terpenuhi. \"Sehingga harus dioperasikan dengan High Speed Diesel (HSD) atau solar yang nilainya lebih mahal dari gas sebesar Rp17,09 triliun tahun 2009 dan Rp19,70 triliun tahun 2010,\" kata Dahlan.
Mantan Direktur Utama PLN itu merincikan temuan BPK tentang inefisiensi Rp 3,87 triliun di Pembangkit Tambak Lorok. Temuan inefisiensi itu terdiri dari tahun 2009 sebesar Rp 2,71 triliun dan tahun 2010 sebesar Rp 2,16 triliun. Menurut Dahlan, PLN pada 2005 menandatangani perjanjian jual-beli gas (PJBG) dari Lapangan Kepodang untuk memenuhi kebutuhan gas Pembangkit Tambak Lorok. Namun sampai 2011, Lapangan Kepodang belum dikembangkan karena BP Migas terlambat memutuskan pemenang tender untuk engineering dan procurement blok migas di Laut Jawa itu.
Sementara hasil negosiasi PLN dan Petronas Charigali Muriah Limited (PCML), masih memerlukan persetujuan BP MIGAS dan Kementerian ESDM. \"Perubahan skema pembangunan pipa transmisi Lapangan Kepodang dari skema hulu menjadi skema hilir pada akhir 2010,\" beber Dahlan.
Sedangkan untuk Lapangan Gundih, dijelaskan Dahlan, PLN dan PT Sumber Petrindo Perkasa menandatangani PJBG pada tahun 2007. Namun sampai tahun 2011, Lapangan Gundih belum dikembangkan karena proses pembangunan Central Procesing Plant di wilayah yang masuk wilayah Blora, Jawa Tengah itu terhambat.
Dahlan menjelaskan, untuk PCML baru menandatangani amandemen PJBG dengan PLN pada25 Juni 2012. Sementara untuk Lapangan Gundih, sambung Dahlan, gas dengan volume 50 BBTUD baru bisa dialirkan pada September 2013 seiring selesainya pembangunan pipa sepanjang 40 KM oleh PT SPP ke pembangkit Tambak Lorok.
Bagaimana dengan inefisiensi Pembangkit Muara Tawar yang memunculkan inefisiensi hingga Rp 1,82 triliun sebagaimana audit BPK? Dahlan menjelaskan, angka itu muncul dari inefisiensi tahun 2009 sebesar Rp 0,51 triliun dan tahun 2010 sebesar Rp 1,3 triliun.
Penyebabnya adalah kekurangan pasokan gas untuk Pembangkit Muara Tawar akibat volume gas yang dikirim PT PGN tahun 2010 tidak sesuai PJBG. Kurangnya pasokan itu sebagai dampak gas lebih diutamakan untuk lifting minyak.
Selain itu kurangnya pasokan gas untuk Muara Tawar juga diakibatkan Joint Operating Body (JOB) Jambi Merang dan Medco E&P Indonesia (MEPI) ternyata belum bisa memasok gas hingga 2011 lalu. Padahal perjanjian jual beli gas sudah diteken pada 24 Juli 2006.
Kemudian untuk Pembangkit Sumatera Bagian Utara (Sumbagut), BPK menemukan inefisiensi Rp8,34 triliun yang terdiri dari Rp 4,43 triliun pada 2009 dan Rp 3,9 triliun pada 2010. Lagi-lagi, inefisiensi akibat kekurangan pasokan gas untuk Pembangkit Sumbagut karena PT Pertamina tidak dapat memasok gas sesuai kontrak.
Menurut Dahlan, realisasi pasokan gas dari Pertamina kepada PLN untuk tahun 2009 selalu berada di bawah kontrak. Bahkan sejak Desember 2009 hingga Desember 2010, pasokan gas dari PT Pertamina dihentikan karena terjadi ketidaksesuaian spesifikasi gas.
Dahlan juga membeber munculnya inefisiensi dari pembangkit Muara Karang dan Tanjung Priok hingga Rp 11,33 triliun. Seperti pembangkit lainnya, munculnya inefisiensi juga akibat kurangnya pasokan gas. Dipaparkannya, berdasarkan PJBG tahun 2008 antara PLN dengan PGN, harusnya pasokan minimumnya 27,27 BBTUD.
\"Tapi realisasi tahun 2009 dan 2010 masing–masing hanya sebesar 22 BBTUD dan 23 BBTUD. Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) Teluk Jakarta milik PT Nusantara Regas (NR) sampai dengan tahun 2011 juga belum beroperasi.
Terkait inefisiensi sebesar Rp 6,49 triliun dari Pembangkit Gresik, Dahlan mengungkapkan bahwa penyebabnya kekurangan pasokan gas dari Kodeco. Padahal PJBG sudah diteken pada 1987 dengan jangka waktu 15 tahun dengan volume yang disepakati sebesar 216 BSCF, dengan harga jual sebesar USD 2.53/MMBTU.
Pasokan gas untuk pembangkit Gresik juga berkurang karena gas dari Lapangan Ujung Pangkah tidak sesuai kontrak yang diteken pada 2004 untuk jangka waktu 21 tahun. Selain itu, pasokan gas untuk Gresik dari Lapangan Terang, Sirasun dan Batur tidak sesuai kontrak yang diteken PLN dengan PT Kangean Energy Indonesia (KEI) pada tahun 2005. \"Jadwal realisasi pasokan gas beberapa kali dilakukan perubahan, semula 1 Januari 2008 menjadi 31 Januari 2012,\" sebut Dahlan.