(Pasca Meraih Mendali Emas OPSI 2012)
Oleh Salwinsah
AKSARA incung adalah tulisan khas Kerinci yang ada sejak ratusan tahun silam. Bahkan telah dikenal sebelum datangnya tulisan Arab dan melayu Kerinci. Salah satu sumber menyebutkan tulisan incung telah dipergunakan secara luas pada abad ke-4 Masehi. Penggunaan tulisan ini juga sampai ke wilayah Lampung dan Rejang. Aksara incung pada awalnya ditulis dengan memakai sejenis benda runcing dan guratannya mirip dengan tulisan paku aksara Babilonia kuno.
Begitu awal penjelasan Nuri Kurniawan, peraih mendali emas tingkat nasional pada ajang Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) tahun 2012 di Jakarta beberapa waktu lalu.
Aksara incung, lanjut Nuri, terdapat di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, satu-satunya daerah yang memiliki aksara sendiri di Sumatera bahagian tengah. Ini dibuktikan dengan adanya naskah-naskah kuno berumur ratusan tahun yang mempergunakan aksara incung. Sampai saat ini masih disimpan oleh orang Kerinci yang peduli dengan khasanah budaya mereka. Bahasa yang dipakai dalam penelitian naskah-naskah tersebut adalah bahasa Kerinci Kuno yaitu bahasa lingua franca suku Kerinci zaman dahulu. Dalam naskah itu, diantaranya banyak terdapat kata-kata dan ungkapan yang sulit dimengerti bila dihubungkan dengan bahasa Kerinci yang digunakan oleh masyarakat sekarang, karena bahasa tersebut tidak setara dengan dialek desa tempatan yang ada di Kabupaten Kerinci. Karena itu, aksara incung pada hakekatnya disebutsebagai bagian dari sastra Indonesia lama.
Surat incung termasuk salah satu dari sekian banyak aksara Nusantara yang dikenal dengan istilah surat atau sulat termasuk Surat Batak, Surat Ulu, dan Surat Mangyan (Filipina) dan lain-lain. Diperkirakan di Kerinci masih terdapat sekitar 100 naskah beraksara surat incung. Karena dikategorikanpusaka, naskah itu dianggap sakral dan pantang diperjual-belikan. Hanya ada tujuh naskah surat incung yang terdapat dalam perpustakaan nasional dan museum bahkan di luar negeri (Tropen Museum Amsterdam), tutur Nuri sembari membuka-buka karya tulis ilmiahnya.
Sejarah
Mengutip Prof. DR. H. Amir Hakim Usman, MA (guru besar IKIP, sekarang UNP Padang), Nuri menjelaskan bahwa untuk pertama kalinya Prof. Amir Hakim Usman melihat sebuah pepatah yang bermakna kekompakan dan kesatuan ditulis dengan menggunakan aksara incung pada tahun 1968. Sementara DR.P.Voorhove (peneliti asal Belanda), menulis hasil penelitiannya tentang naskah Kerinci pada tahun 1941 mengatakan bahwa aksara incung masih digunakan oleh masyarakat Kerinci hingga tahun 1825, akan tetapi memasuki abad 21 sampai hari ini hanya beberapa orang saja yang mampu memahami aksara tersebut.
Prof.Amir Hakim Usman dalam makalahnya yang disampaikan pada seminar Nasional aksara incung Kerinci (29Februari 1992), menjelaskan bahwa pengembangan tulisan incung dilarang oleh Belanda, lantaran khawatirakan terjadi pertentangan antar suku di Kerinci sendiri jika aksara incung dikembangkan di masyarakat. Mereka berasumsi jika masyarakat memahami incung akan timbul suatu perbedaan pendapat dalam hal harga diri suku.
Hasil penelitian Prof.Amir Hakim Usman dan DR.P.Voorhoeve, Nuri menyimpulkan terdapat 271 naskah kuno di bumi Kerinci dan 158 di antaranya ditulis dengan aksara incung yang diabadikan di berbagai media seperti di tanduk, ruas buluh, tulang, kulit kayu dan tapak gajah.
Sesuai hasil penelitian di lapangan siswa kelas XII IPA-5 ini memperoleh data bahwa saat ini yang bisa menulis dan membaca aksara incung hanya tinggal beberapa orang saja. Itupun sudah berusia lanjut, seperti Depati H. Amiruddin Gusti (85 tahun), Depati H. Alimin (65 tahun), IskandarZakaria (75 tahun), Depati H. A. Norewan, BA (75 tahun), Depati Ujang, lainnya sudah meninggal dunia.
Bersumber penjelasan para tokoh di atas, anak dari pasangan Drs. SaidinaAnas dan Wirdani, S. Pd berkesimpulan bahwa isi aksara incung kebanyakan berupa karya sastra seperti syair, kerinduan, ungkapan perasaan hati nenek moyang Kerinci yang dalam pada zaman dahulu kala.
Naskah-naskahkuno yang terdapat di Kerinci bernilai klasik, baik dari bentuk, alat tulis maupun media yang dipergunakan termasuk langka dalam kesusasteraan Indonesia. Diketahui bahwa naskah incung klasik itu tidak bisa digolongkan berdasarkan jangka waktu tertentu (periode), karena hasil naskah itu tidak mencantumkan waktu. (bersambung)
* Penulis adalah Guru SMAN Titian Teras H. Abdurrahman Sayoeti Jambi