(Peringatan Bung Karno Terhadap Bangsa Indonesia)
Oleh : Drs. H. Navarin Karim, M. Si/Muhammad Ferdy Firdaus
Jauh-jauh hari Bung Karno sang proklamator dan sebagai a great national building Indonesia sudah menyatakan bahwa ada 3 (tiga) kaum yang kelak akan membuat kekacauan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang diberinya singkatan KOMPRADOR (Kompromi, Blandis dan Reformasi). Apa yang dia kemukaan memang terbukti dengan kejadian-kejadian setelah beliau tidak lagi jadi penguasa yaitu pada Orde Baru bahkan di era reformasi.
Pertama. Kaum Kompromis
Kaum Kompromis yaitu untuk kaum yang lebih mementingkan kelompoknya sendiri di banding kepentingan bangsa. Ini terbukti sejak masa Orba jabatan-jabatan strategis selalu diisi oleh fungsionaris Golkar dan ABRI, seperti Gubernur, Bupati, pimpinan BUMN dan BUMD. Ketika reformasi pemimpin sangat tergantung dari pemenang pemilu. Bahkan lebih dahsyat lagi di beberapa propinsi di Indonesia, baik penguasa maupun pimpinan institusi selalu mementingkan kelompoknya (partai pengusung dan tim sukses dan asal daerahnya). Jika pemimpin berasal dari Kabupaten X, maka sebagian Staf direkruit dari kabupaten X. Jika pemenang dari kabupten Y, maka sebagian staf direkruit dari kabupaten Y. Kalau perlu orang-orang daerahnya eksodus ke propinsi. Akibatnya pelayanan public tidak optimal dan tidak berkualitas karena pegawai yang tidak kapabel, tidak mempunyai kapasitas mumpuni dan tidak professional.
Kedua. Kaum Blandis
Kaum Blandis yaitu kaum yang lebih mempercayai literatur-literatur milik bangsa lain ketimbang literatur milik bangsa sendiri. Buktinya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lebih banyak merujuk (refere) dari literature Belanda, akibatnya kepastian hukum di Indonesia hingga sekarang banyak yang tidak jelas.
Mungkin latar belakang budaya yang tidak sama dan mentalitas bangsa kita yang tidak mampu mengimplementasikannya.
Di bidang ekonomi, pakar-pakar ekonomi pada orde Baru lebih banyak di recruit oleh almarhum Jenderal Soeharto dari Universitas Barkley ( Amerika Sarikat). Sehingga ketika itu muncul istilah kelompok Barkley penentu ekonomi Indonesia. Jadi tidak heran jika ekonomi liberal lebih dipraktekkan ketimbang ekonomi Pancasila yang sesungguhnya.
Demikian juga soal demokrasi Indonesia sejak diberlakukannya system pemilu langsung sejak tahun 2004, bangsa Indonesia merujuk kepada demokrasi Barat, dimana sebenarnya bangsa ini sungguh belum siap menerapkan demokrasi tersebut: karena dua persyaratan mutlak (condition sine quanon) belum terpenuhi yaitu pendidikan masyarakat harus merata dan relative tinggi serta ekonomi harus mapan (establish).
Ketiga. Kaum Reformis.
Kaum Reformis yaitu kaum yang akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tahun 1998, ketika reformasi, perubahan tidak terjadi secara damai tetapi penuh anarkhis, bahkan ketika itu bangsa Indonesia yang dikenal berbudaya tinggi dapat julukan sebagai bangsa yang biadab. Akibat langsung yang dirasakan adalah tourist dan investor takut datang dan menanamkan investasi ke Indonesia.
Memang setelah reformasi kita mengalami kemajuan dalam demokrasi, tapi cost yang dibayar juga tidak sedikit, bahkan yang paling dirasakan rusaknya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketuhanan yang maha esa seakan berubah menjadi Keuangan yang maha Kuasa. Ia penentu untuk menggoalkan tujuan untuk jabatan politik seperti Gubernur, Walikota, Bupati dan anggota Legislatif, cenderung mereka yang kaya (pemilik capital) yang punya probability lebih besar.
Belum lagi soal penerapan demokrasi, bangsa ini betul-betul melupakan demokrasi leluhur bangsa Indonesia yaitu Demokrasi Pancasila, tapi lebih mengamalkan Demokrasi liberal yang dipraktekkan di Amerika. Sistem voting, jelas-jelas milik bangsa Amerika ketimbang musyawarah mufakat dan penghargaan terhadap senioritas.
Syukurlah bangsa ini baru menyadari setelah merasakan lebih banyak mudarat ekonomi akibat pemilihan langsung, hingga ditetapkankan pula mulai pemilu 2014 pemilihan Gubernur, Bupati tidak lagi dipilih langsung. Presiden masih dipilih secara langsung oleh rakyat karena memang diamanahkan dalam UUD 1945, dimana disebut Presiden dipilih oleh rakyat, dimaknai bukan dipilih oleh wakil rakyat (legislatif). Cuma yang belum diinsyafi adalah promosi jabatan untuk PNS masih lebih kental sepaham ketimbang prinsip senioritas (Daftar Urutan Kepangkatan/DUK). Ini bukan saja sendi-sendi sila keempat yang kena imbasnya, tapi juga sila persatuan Indonesia, Korpri sudah terkotak-kotak karena keberpihakan terhadap kandidat-kandidat Pemilukada. Pegawai memang tidak bisa disalahkan, mereka mau tetap eksis dan survive. Tidak berpihak atau netral tidak dapat jabatan, lebih baik spekulasi dengan keberpihakan. Istilah Jawa : ora edan ora kedumen (tidak gila tidak kebagian). Mudah-mudahan pemimpin-pemimpin daerah, Baperjakat propinsi seluruh Indonesia segera menginsyafi ini. Lebih baik terlambat insyaf, daripada tidak sama sekali.