Oleh:
Ulya Fuhaidah, S.Hum, MSI[1]
Munculnya calon independen dalam pemilihan kepala daerah menemui momentumnya pasca diamandemennya UU pemilihan umum sejak disahkannya undang-undang otonomi daerah yang memberikan kekuasaan dan kewenangan kepada daerah untuk menyelengarakan pemerintahan secara otonom, tepatnya sejak bergulirnya sistem pemilihan kepala daerah langsung dengan cara one man one vote. Sistem ini telah mengubah tradisi yang sangat mengakar di era Orde Baru yakni model pemerintahan militer sentralistik di mana daerah propinsi maupun kabupaten merupakan pemerintahan boneka yang pemimpinnya ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat dan dijabat oleh seorang purnawirawan militer dan bukan putera daerah. Oleh karena itu secara psikologis tidak ada kedekatan emosional antara penguasa dengan rakyatnya sehingga realitas politik dalam pemerintahan berwajah paternalistic antara tuan dan hambanya, di mana perilaku menjilat dan mencari muka kepada penguasa menjadi praktek yang lumrah dan biasa.
Realitas di atas menimbulkan kegelisahan dari sejumlah kalangan yang peduli pada nilai-nilai demokrasi, sehingga pasca reformasi 1998 wacana pemimpin daerah haruslah dijabat oleh putera daerah menjadi kian marak. Ide ini mengejawantah dengan berhasilnya penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah secara langsung di beberapa kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Peraturan tentang pemilihan kepala daerah pun kembali mengalami perubahan dengan diperbolehkannya jalur independen untuk tampil mengikuti perhelatan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Dalam periode pemilukada sejak 2005, tercatat sejumlah pasangan independen berhaasil lolos dalam pemilihan bupati maupun gubernur di Indonesia. Mereka itu antara lain adalah: Bupati Rote Ndou pada Oktober 2008 yang dimenangkan oleh pasangan Christian N Dilak-Zacharias P Manape; kedua, Bupati Batubara Sumateraa Utara yakni pasangan OK Arya Zulkarnaen-Gong Martua Siregar; ketiga, calon independen dari Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat, Muda Mahendrawan-Andreas Muhrotein; keempat, pasangan Bupati Garut Aceng Fikri-Diki Chandra yang berlangsung hingga dua putaran; dan kelima pasangan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar. Namun sayangnya pemilukada gubernur Jakarta dari jalur independen yang berlangsung beberapa waktu lalu tidak berhasil mengantarkan calon perseorangan menduduki kursi nomor satu di ibukota Negara tersebut.
Kegagalan Calon Independen Pada Pilwako Jambi 2012
Munculnya jalur independen pada pemilihan walikota Jambi mendatang merupakan fenomena baru dan memberi warna tersendiri dalam konstelasi politik Kota Jambi. Hal ini patut diapresiasi secara positif yang berarti menandai dinamisnya pemilukada dan meleknya kesadaran berpolitik yang tinggi dari masyarakatnya. Sebagian kalangan menilai bahwa calon independen lebih bersih dan akan mementingkan konstituennya mengingat mereka tidak mempunyai hutang politik kepada partai politik pengusungnya sehingga ketika menjabat menjadi kepala daerah tidak ada beban moral untuk membalas jasa kepada partai induk semangnya maupun koalisinya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kepala daerah yang diusung oleh partai politik akan membagikan kursi birokrasi kepada para pendukungnya saja, sehingga birokrasi yang berdasarkan merit system seperti yang diidamkan oleh Max Weber tidak akan tercipta. Hegemoni partai politik terhadap birokrasi juga menjadi preseden buruk bagi terciptanya profesionalitas para birokrat. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa KPU telah mengugurkan satu-satunya pasangan calon walikota jalur independen Azman-dr.Maidrin Joni karena berkasnya tidak memenuhi syarat. Jumlah dukungan yang diserahkan hanya berjumlah 22.966. Sementara syarat minimal dukungan sebanyak 26.714 dan hanya tersebar di tiga kecamatan. (JE/13 Februari 2013).
Tentu saja bukan tanpa liku dan butuh pengorbanan yang besar untuk dapat meraih kursi nomor satu. Calon independen harus bersaing ketat dengan calon yang diusung oleh partai politik yang biasanya memiliki modal cukup besar. Sesuai dengan teori ekonomi, siapapun yang memiliki modal kuat akan menguasai pasar. Begitu pula dalam bursa pemilihan kepala daerah, walaupun media tidak pernah secara rinci membeberkan tentang jumlah dana yang dihabiskan oleh seorang cawako untuk sekedar bersilaturahim ataupun menghadiri peringatan hari besar keagamaan di sebuah desa dan masjid-masjid yang tersebar di pelosok kota Jambi. Tentu calon walikota dan wakilnya tidak datang dengan tangan hampa. Paling tidak ada pakta politik antara masyarakat dengan calon walikota tersebut. Lalu bagaimana dengan calon walikota jalur independen yang jarang terkspose media bersilaturahim ke mana-mana? Dalam hal ini kepopuleran menjadi salah satu modal dasar untuk mampu merebut simpati massa.
Kepopuleran saja belum tentu menjamin seseorang menang dalam pemilukada. Tim kampanye yang solid juga menjadi pilar penting dalam menjaring massa. Hierarki partai politik yang sangat terstruktur dari tingkat ranting, cabang, bahkan hingga pengurus pusat merupakan mesin politik paling tangguh untuk mendulang suara jika tidak ada perpecahan dalam menentukan dukungan politik pada suatu pasangan walikota. Berbeda dengan pasangan yang diusung partai politik, strategi calon independen untuk menjaring suara dari sel politik yang paling kecil dengan cara kampanye door to door yang dianggap lebih efektif untuk menarik simpati massa.
Massa mulai menuntut terselenggaranya pemilukada secara bersih dan transparan. Era kejayaan politik uang dan serangan fajar sudah berubah dengan konstituen yang semakin cerdas. Sekarang bukan zamannya money politik. Pemberian uang maupun sembako kepada konstituen tidak mempan lagi untuk menyandera mereka dalam satu pilihan politik. Mereka akan menilai track record dan kinerja calon pasangan walikota, utamanya calon incumbent yang secara alamiah tidak akan terpilih kembali jika pemerintahannya korup dan kinerjanya buruk.
Peluang kemenangan calon independen dalam pilwako Juni mendatang tinggal angan-angan. Dengan demikian, calon yang diusung partai politik sama-sama mempunyai cans yang terbuka lebar untuk menjadi pasangan paling berpengaruh di Kota Jambi. Hal ini tergantung dari kepiawaian tim sukses dan pencitraan politik masing-masing kandidat. Untuk mewujudkan terpilihnya kandidat terbaik, maka seluruh komponen masyarakat Jambi hendaknya berpartisipasi aktif dalam pemilihan walikota Jambi dengan memilih secara cerdas, bukan karena paksaan apalagi ikut-ikutan dan iming-iming yang membahagiakan sesaat.. Gunakan hak pilih anda untuk mewujudkan pemerintahan kota Jambi yang lebih baik. Satu suara dalam pemilu walikota hanya sehari sangat berharga dan akan menentukan masa depan Kota Jambi berhari-hari. Selamat memilih walikota Jambi!
Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Syariah IAIN STS Jambi