Oleh : Bahren Nurdin, SS., MA
KETUK palu Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan Pemohon dalam perkara No. 62/PUU-X/2012 perihal pengujian Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan Riau (Kepri) final. Putusan MK ini berdasarkan pada Putusan Mahkamah Agung No. 49 P/HUM/2011, tanggal 9 Februari 2012. Dalam putusannya tersebut, MA menyatakan batal demi hukum Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 44 Tahun 2011, tanggal 29 September 2011, tentang Wilayah Administrasi Pulau Berhala. Ini artinya melalui putusan ini Pulau Berhala secara hukum sah masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Lingga, Propinsi Kepulauan Riau (Kepri). Inilah kisah akhir drama ‘rebutan’ Pulau Berhala antara pemerintah Jambi dan Kepri. Berakhir ‘sad ending’ bagi masyarakat Jambi dan harus ihklas mengucapkan ‘Selamat Tinggal’ Pulau Berhala. Inilah catatan hitam sejarah Jambi.
Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA) dan tim minta maaf atas ‘kegagalan’ ini. Tentu masyarakat Jambi dengan senang hati sudah memaafkan. Lebih dari itu, persoalan perebutan Pulau Berhala ini sesungguhnya tidak hanya persoalan memperjuangkan status hukum, namun menyangkut banyak aspek. Ada beberapa poin penting yang tidak boleh dilupakan atas kegagalan pemerintah Provinsi Jambi yang dikomandoi HBA mempertahankan Pulau Berhala ini.
Pertama, catatan kelam sejarah Provinsi Jambi. Baru saja HBA menorehkan nohtah hitam di atas buku sejarah Provinsi Jambi yaitu kegagalan merebut dan mempertahankan Pulau Berhala menjadi bagian Provinsi Jambi (Kabupaten Tanjab Timur). Kegagalan ini akan terus tercatatat hingga cucu cicit kita nanti. HBA akan dikenang sebagai gubernur yang telah menyerah kalah mempertahankannya.
Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa Pulau Berhala tidak bisa dipisahkan dari sejarah Provinsi Jambi. Ia menjadi tonggok sejarah yang kuat dan mengakar. Datuk Paduka Berhala telah terpatri di benak orang Jambi sebagai pendahulu orang Jambi dan Pulau Berhala sebagai bukti otentiknya. Terlepas ini perkara hukum teritorial, HBA baru saja mencabut umbi sejarah Masyarakat Jambi.
Kedua, lemahnya bargaining position (daya tawar) HBA. Dengan kegagalan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya HBA tidak cukup memiliki power untuk bargaining di tingkat nasional dan regional. jika HBA meminta masyarakat Jambi untuk legowo menerima kekalahan ini, maka HBA juga harus legowo mengakui Gubernur Kepri dan tim lebih tangguh dari dirinya dan tim yang beliau bentuk. Jika kita mengikuti secara seksama perkara ini, apa yang dilakukan oleh tim dari Kepri memang tidak tanggung-tanggung dan main-main. Semua elemen masyarakat dilibatkan tidak terkecuali kaum akademisi dan sejarahwan. Apakah HBA dan tim melakukan hal yang sama? Jika ditanya kepada HBA tentu jawabannya ‘Ya”. Tapi faktanya, sama-sama kita ketahui.
Sebagai masyarakat Jambi kita harus tahu berterima kasih kepada HBA dan Tim atas kerja keras yang telah dilakukan. Kita juga sama-sama mengetahui telah banyak tenaga dan biaya yang dihabiskan. Itulah harga sebuah perjuangan. Namun, karena biaya yang digunakan adalah uang rakyat, harusnya HBA dan tim malu menerima kenyataan ini. Amanat rakyat telah terabaikan.
Ketiga, kerugian asset dan infrastruktur. Dengan kekalahan ini secara otomatis segala asset dan infrastruktur yang telah ‘terlanjur’ dibangun di atas pulau ini akan menjadi sia-sia. Berapa pun anggaran yang telah digelontorkan di sana tentu tidak bisa ditarik kembali juga tidak memungkinkan untuk ‘dilego’ ke pemilik baru; Kepri. Ini artinya, pemerintah baik Provinsi maupun Kabupaten Tanjab Timur telah membuang uang kelaut. Jika dana tersebut dibangunkan untuk sekolah, berapa sekolah yang bisa terbangun dengan baik? Namun semua itu tidak bisa disesali. Nasi telah menjadi bubur. Kita masyarakat Jambi tinggal menjadi penonton kemolekan si Berhala meliuk-liuk di dapan mata.