Korporatisasi Usaha Individu
Kita punya problem mendasar untuk mayoritas umat Islam, terutama di pedesaan. Mungkin sangat sulit merumuskan desain masa depan tanpa mengubah struktur yang ada. Terutama struktur perekonomian mereka. Penguasaan aset perekonomian yang kecil dan bersifat individual akan menjadi faktor yang amat sulit untuk menciptakan desain besar, baik dalam konteks cita-cita personal maupun komunal.
Kepemilikan sawah oleh individu muslim yang kecil-kecil, pada akhirnya hanya akan jatuh ke para penyewa besar. Kepemilikan ternak yang hanya satu-dua ekor di masing-masing individu muslim, juga tidak akan bisa memberikan dampak besar bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas kehidupan secara umum.
Kita membutuhkan sebuah desain gerakan dakwah bil hal yang masif untuk menjawab permasalahan itu. Sebuah desain yang tidak hanya berorientasi kekinian, tapi juga menjangkau masa depan. Saya mengistilahkan desain itu: Korporatisasi Usaha Individu Umat.
Tujuan korporatisasi usaha individu umat sejalan dengan tujuan dakwah, sebagaimana rumusan dakwah dari Amrullah Ahmad (1985): eksistensi dakwah mengubah realitas sosial yang ada ke realitas sosial yang baru.
Ke depan umat harus yakin bahwa \"usaha bersama\" lebih baik daripada \"usaha sendiri\" yang kecil-kecil. Korporatisasi -tidak harus dalam pengertian membuat perusahaan, apalagi konglomerasi- akan mengubah desain ekonomi umat masa depan. Saya terkesan dengan rumusan dakwah dari Andi Abdul Muis (2001): dakwah jangan hanya terfokus pada masalah agama, tapi harus mampu menjawab realitas keadaan di pedesaan.
Realitasnya, umat di pedesaan terbelit pada kepemilikan aset produksi yang kecil, yang tidak akan bisa digerakkan sebagai kekuatan ekonomi. Korporatisasi Usaha Individual bisa menjadi jalan keluarnya. Hanya, dalam korporatisasi ini diperlukan pihak ketiga yang akan menjadi penjamin fasilitas pendanaan (avalis).
Adanya avalis menjawab persoalan yang selama ini menjadi kendala bagi pendanaan usaha kecil umat. Sebab, fasilitas pendanaan perbankan umum maupun perbankan syariah sangat besar untuk mendukung misi korporasitasi usaha individual umat ini. Yang belum cukup adalah siapa lembaga atau pihak yang menjadi penjaminnya. Avalis bisa menjadi jembatan bagi individu pengusaha kecil untuk menjangkau pendanaan perbankan.
Maka, sudah waktunya konsep zakat juga lebih akomodatif terhadap keperluan riil masa depan itu. Peranan zakat orang kaya yang 2,5 persen dari aset mungkin terlalu kecil dampaknya bagi pekerjaan sangat besar mengangkat perekonomian umat yang mayoritas miskin itu. Tapi, peranan orang kaya (aghniya\") atau pemilik modal akan menjadi lebih berarti jika diposisikan dalam konteks membangun korporatisasi usaha individu umat itu.
Avalis bisa dilakukan dalam dua bentuk. Pertama, pemilik modal berada di luar, hanya bertindak sebagai penjamin atas jalannya usaha individu. Kedua, pemilik modal masuk ke dalam, menjadi bagian dari korporasi usaha individual itu.
Harus ada tempat bagi peran avalis dalam praktik ekonomi syariah. Sebab, konteks hukum fikihnya berbeda dengan sedekah atau infak. Penerima sedekah dan infak tidak memiliki ikatan apa pun dengan pemberi sedekah. Apalagi ikatan formal. Penerima sedekah dan infak bisa menggunakan dana untuk apa pun, termasuk untuk hal yang hanya bersifat konsumtif.
Sementara avalis dan pihak yang dijamin terikat dalam sebuah akad, baik moral maupun formal. Avalis memiliki tanggung jawab untuk turut mengembangkan usaha pihak yang dijamin. Sebab, tujuan proses ini bukan sebatas memberi jaminan, tapi bagaimana agar yang dijamin bisa berkembang dan \"berubah dari realitas sosial yang ada ke realitas sosial yang baru\".
Sebagai contoh, 100 orang miskin tidak mungkin bisa membeli sapi untuk diternakkan. Apalagi, dalam jumlah yang memenuhi skala keekonomian. Mereka juga tidak mungkin mendapat fasilitas pinjaman dari bank. Dengan niat dan tekad dakwah bil hal, seorang aghniya\" bisa menjadi avalis bagi mereka, sehingga perbankan atau lembaga keuangan bisa mengucurkan dana untuk pembelian sapi bagi kelompok tersebut, dalam jumlah yang sesuai dengan skala keekonomian. Sapi-sapi itu ditempatkan dalam sebuah kandang komunal dengan prinsip-prinsip korporasi dalam pengelolaannya.
Tentu saja tidak bisa hanya berhenti pada pembelian sapi. Agar usaha berkembang sesuai tujuan yang dicanangkan, dakwah bil hal harus diperluas dalam bentuk pendampingan, pelatihan, pembinaan, sehingga benar-benar menjadi sebuah gerakan perubahan.
Bentuk lain adalah optimalisasi lahan-lahan kecil dan terbatas milik petani. Misalnya, dengan membentuk kelompok tani yang menanam buah-buahan tropik. Pasar buah tropik di dalam negeri sangat besar, dan memiliki potensi untuk diekspor ke mancanegara. Pengelolaannya bertumpu pada asas korporasi, sehingga lebih tertata, terukur, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Indone sia yang menurut lembaga-lembaga internasional akan menjadi negara terbesar ke-7 di dunia pada 2030, tentu akan menjadi negara yang sangat maju dan modern. Di sini diperlukan modernisasi di bidang pertanian, peternakan, dan sektor-sektor pedesaan lainnya. Kalau tidak, di tengah-tengah kemajuan dan kemodernan Indonesia saat itu nanti terdapat mayoritas masyarakat Indonesia di pedesaan yang tetap tertinggal.