Dimulai dari Guru

Jumat 12-07-2013,00:00 WIB
Oleh:

Oleh : Bahren Nurdin MA

            MIRIS rasanya melihat kenyataan-kenyataan pahit yang sedang terjadi di negeri ini. Di Senayan para politisi berlomba korupsi. Uang rakyat dibagi-bagi dengan berbagai cara dan metodologi untuk memperkaya diri dan kelompoknya sendiri. Di dunia pendidikan tidak kalah mengerikan ketika mendengar ada rektor yang jadi koruptor, ada guru dan kepala sekolah yang memperkosa dan nyabu, ada mahasiswa dan siswa/siswi yang sibuk berantam dan tawuran di jalanan. Curat marut yang seakan tiada akhir. Setiap hari berita-berita di tv selalu saja menyuguhkan ‘kepedihan’ ini. Lantas terbersit asa untuk bertanya “dari mana harus memulai?”

            Pertanyaan semacam ini selalu saya dapatkan dari peserta seminar-seminar saya di berbagai tempat. Biasanya pertanyaan ini dengan sangat sederhana saya jawab ‘dimulai dari guru!”. Mengapa guru? Ya, saya selalu menganalogikan hal ini dengan membuat kue. Jika anda menginginkan menghasilkan sebuah kue yang enak dan bagus bentuknya maka anda harus menyediakan bahan-bahan yang baik dan berkualitas, cara masaknya sesuai ketentuan yang benar, dan, yang terpenting, cetakannya bagus tidak cacat. Anda tidak bisa menghasilkan kue yang bagus bentuknya, jika anda menggunakan cetakan (tatakan) yang rusak.

            Cetakan pembentukan karekter bangsa ini adalah guru. Gurulah yang memiliki peran strategis dalam membentuk insane-insan bangsa ini. Maka adalah kecelakaan yang amat sangat besar jika kemudian guru-guru di negeri ini ‘rusak’. Lihatlah apa yang sering terjadi pada saat pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Banyak guru yang ‘rusak’ yang berkomplotan dengan barbagai pihak dari kepala sekolah hingga kepala dinas ‘bersetuju’ membantu mengerjakan soal-soal UN demi mencapai target kelulusan sekolah atau daerah. Bagaimana kemudian hendak menanmkan kejujuran kepada peserta didik jika ternyata para guru berjamaah melakukan kebohongan dan kejahatan.

            “Susah, Pak!” Begitulah kata yang sering saya dapatkan dari bapak dan ibu guru ketika dalam suatu seminar saya tegaskan guru jangan lagi membantu siswa siswa demi menegakkan kejujuran. Memang menegakkan kebenaran itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia memerlukan perjuangan yang serius dan tangguh, dibutuhkan pengorbanan dan keikhlasan lebih-lebih ketika ‘kejahatan’ seperti ini sudah tersistem dan berjenjang. Maka sudah saat ini para guru menanamkan nilai-nilai kepada peserta didiknya. Namun demikian, syarat mutlak untuk menanamkan nilai-nilai tersebut adalah para guru harus memiliki nilai-nilai yang ditanamkan tersebut terlebih dahulu di dalam dirinya. Para guru harus mempu menjadi model yang digugu dan ditiru.

            Pertama, nilai religious. Salah satu dampak nyata dari globalisasi adalah orang-orang semakin terlena dengan urusan dunia sehingga mereka lupa akan adanya kehidupan akhirat. Mereka telah ‘ber-Tuhan’ pada teknologi dan informasi. Batin-bathin mereka tumbuh dengan gersang dan kerontang. Agaknya nilai religiusitas inilah yang harus dikembalikan oleh para guru terhadap anak didiknya. Nilai-nilai keimanan harus ditanamkan sejak dini sehingga para generasi bangsa ini tidak mudah terjerumus dalam kejahatan dan kemungkaran. Apa pun agamanya, keimanan harus dipertebal. Yakinlah, anak-anak bangsa yang memiliki keyakinan beragama yang kuat mereka tidak mudah goyah dalam menghadapi tantangan zaman yang keras dan menghanyutakan.

            Kedua, nilai kejujuran. Katakan yang benar walau pahit rasanya. Menegakkan kejujuran di tengah masyarakat yang telah ‘membenarkan’ kebohongan memang tidak mudah dan hanya mampu dilakukan oleh jiwa-jiwa yang kokoh bertopang di atas kebenaran. Yakinlah, kejujuran dan kebenaran tidak akan bisa tegak jika dia dibangun di atas ketidakjujuran itu sendiri. Bagaimana mungkin kita menanamkan kejujuran kepada peserta didik bangsa ini jika para gurunya ternyata tanpa dosa melakukan kebohongan dengan berjamaah membantu sisiwa mengerjakan soal-soal ujian hanya demi mendapatkan predikat ‘lulus 100%’. Demi nama baik sekolah dan daerah. Itulah kebenaran semu dan menyesatkan. Maka mulai sekarang sudah saatnya menghentikan hal itu. Kejujuran harga mati jika kita tidak ingin memproduksi manusia-manusia pembohong di negeri ini. Dimulai dari guru.

            Ketiga, nilai kerja keras. Kemajuan tekhnologi dan kecanggihan zaman telah membuat segala sesuatu dapat dikerjakan dengan mudah dan cepat (instant). Dampak negatifnya, masyarakat saat ini tidak memiliki nilai juang untuk mendapatkan sesuatu. Mereka cenderung menginginkan kesuksesan dengan instant tanpa nilai-nilai juang. Hal ini sangat riskan karena mereka cenderung cepat putus asa, stress, mengambil jalan pintas, menghalalkan segala cara, dan lain sebagainya.

Maka dari itu, nilai-niali kerja keras ini harus kembali ditumbuhkembangkan ditengah-tengah anak didik kita. Saya selalu menganalogikan filosofi pedang. Sebilah pedang yang bagus dan mahal hanyalah berasal dari sepotong besi tua tidak berharga. Namun karena dia mau ditempa oleh pandai besi dia kemudian manjadi pedang yang tajam dan bernilai tinggi. Andai saja besi tua tersebut menolak untuk dibakar, digerinda, dipukul, disepuh, dan lain sebagainya, maka ia tetaplah menjadi besi tua yang hanya berharga sebagai barang rongsokan.

Keempat, nilai-nilai kreatif, peduli, prestatif, selalu ingin tahu. Nilai ini harus dipupuk dan ‘budidayakan’ bagi anak didik kita untuk pembentukan karakter bangsa ini. Pesarta didik kita harus terus didukung dalam menumbuhkan kreatifitas yang mereka miliki sehingg mampu menorehkan prestasi-prestasi di berbagai tingkatan, dari tingkat sekolah hingga internasional. Bombing mereka untuk mendapatkan pengetahuan yang benar sehingga sifat keingintahuannya dapat terarah dan bernilai positif. Nilai-nilai kemanusiaan mereka tidak boleh dibunuh sehingga mereka peduli dengan orang lain dan lingkungan.

Akhirnya, tidak ada kata lain, jika bangsa ini ingin memiliki karakter yang baik maka dimulai dari guru. Membenahi nilai-nilai yang terdapat pada guru merupakan starting point yang strategis untuk membenahi bangsa ini. Sekali lagi, DIMULAI DARI GURU.

 (Penulis adalah dosen IAIN STS dan Pengamat Pendidikan Jambi serta Sekjen PELANTA)

 

Tags :
Kategori :

Terkait