Oleh: M Asrori.S,SH.I
PANCASILA adalah tonggak hukum yang menguasai hukum Negara, baik hukum dasar tertulis maupun hukum dasar tidak tertulis. Begitu juga dengan UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang memuat norma dasar dan landasan pembentukan peraturan perundang-undangan di negeri ini.
Sila Pertama Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa yang juga merupakan pokok pikiran dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Artinya sila pertama ini mengandung dasar utama dan landasan sebagai tempat dan kedudukan berpijak bagi terpelihara, terlaksana dan berkembangnya ajaran serta aturan-aturan hukum (agama Islam) di Indonesia.
Secara yuridis konstitusional UUD 1045, menampung dan menempatkan kedudukan dan posisi hukum Islam dalam tatanan hukum nasional. Buktinya, pasal 29 ayat (1) menjamin hak-hak dasar manusia untuk melaksanakan ibadah agamanya masing-masing. Kemudian pengertian negara menjamin hak-hak tersebut adalah bahwa negara mengakui eksistensi, melindungi dan memberikan pelayanan kepada warga negara, agar pelaksanaan agama dan hukum (agama) Islam dapat berjalan baik melalui hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan, ataupun melalui hukum tidak tertulis. Lebih dari itu, pasal 29 juga tidak membatasi lingkup materi dan substansi hukum yang karena kebutuhan pencari keadilan sesuai tingkat kesadaran, perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Tegasnya, Pancasila dan UUD 1945 memberikan ruang apresiasif yang sangat kuat dan cukup memadai bagi berkembangnya hukum Islam di Indonesia. Sebetulnya, jika kita cermati kontribusi hukum Islam dalam pengemabangan hukum nasional, khususnya dibidang paraturan perundang-undangan dapat dilihat, dengan terserapnya prinsip dan nilai-nilai serta ketentuan-ketentuan hukum Islam dalam produk hukum positif.
Menurut Imam Ghazali, dalam kitabnya Al-Mustashfa fi Ilmi al-Ushul, disebutkan dengan tegas bahwa, tujuan adanya perintah dan larangan dalam sumber utama hukum Islam Al Qur’an dan Hadits dikelompokkan menjadi lima pokok, yaitu untuk memelihara agama (hifdzuddin), memelihara jiwa manusia (hifdzunnas), memelihara akal atau kehormatan (hidzul aqli), memelihara keturunan (hifdzunnasal) dan untuk memelihara harta (hifdzumaal).
Prinsip dan nilai-nilai dasar agama Islam tersebut, dalam perkembangannya sangat jelas masuk dan terserap ke dalam sejumlah produk hukum nasional, diantaranya; Pertama, UU No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan dan berbagai peraturan pelaksanaannya yang menentukan bahwa sahnya suatu perkawinan, jika dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaanya itu serta dengan prinsip menghindari terjadinya perceraian dimaksudkan agar keutuhan keluarga dan keturunan tetap terpelihara.
Kedua, UU No.9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang kemudian diganti terakhir dengan UU No.35 tahun 2009. UU ini dimaksudkan untuk menyelamatkan akal dan jiwa manusia, karena akibat buruk dan berbahaya serta kerugian yang ditimbulkan oleh penyalah-gunaan bahan narkotika.
Ketiga, UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak yang kemudian diperkuat dengan UU No.23 Tahun 2002, tentang Perlindungan anak yang menentukan bahwa dalam hal pengangkatan anak, diharuskan dilakukan oleh orang tua yang seagama. Ketentuan ini menyerap prinsip dasar hukum Islam, yaitu untuk memelihara agar agama si anak tetap terpelihara. Keempat, UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang kemudian diganti dengan UU No.36 Tahun 2009. Salah satu poin penting dalam UU ini, adalah tentang pengguguran kandungan, kehamilan diluar secara alami (bayi tabung-red), transplantasi organ tubuh manusia dan bedah mayat yang mengharuskan adanya pertimbangan ahli agama atau ulama.
Kelima,UU No.7 Tahun 1996 tentang pangan, di pasal 30 ayat (1) ditegaskan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia berupa yang dikemas untuk diperdagangkan, wajib mencantumkan label pada setiap kemasan. Selanutnya di ayat (2) ditegaskan bahwa keterangan mengenai halal harus dimuat dalam label. Keterangan label halal itu sangat penting karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, dan agar terhindar dari mengkonsumsi makanan yang tidak halal.
Keenam, UU No.38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. UU ini dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat, meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan soaial, serta meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat itu sendiri. Ketujuh, UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, ditegaskan masalah wakaf ini tidak saja mencakup harga bergerak seperti tanah dan bangunan, maupun harta bergerak misalnya uang atau barang wakaf lainnya. Tujuannya untuk memberikan payung hukum dan perlindungan atas harta-harta wakaf. UU ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia di daerah sesuai kebutuhan.
Sementara disisi lain, yang patut dicermati adalah sejak beberapa tahun belakangan perkembangan dunia perbankan yang cukup signifikan. Terutama kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap jasa perbankan syariah. Bangkitnya Bank yang berbasis ekonomi syari’ah di dunia, termasuk di Indonesia, sejak runtuhnya sistem perekonomian dunia yang dipicu oleh hancurnya ekonomi Amerika Serikat di tahun 2008 silam.
Berangkat dari persoalan inilah, Pemerintah Indonesia merasa berkepentingan untuk memberikan ruang bagi berkembangnya sistem ekonomi syariah. Wujudnya adalah dengan dibentuknya sejumlah UU dan Peraturan tentang ekonomi syari’ah. UU tersebut antara lain; UU No.19 tahun 2008 tentang Surat berharga Syari’ah Negara, UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, dan UU No.25 Tahun 2009 tentang Pajak penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syari’ah.
Selain UU, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP), diantaranya PP No.56 tahun 2008 tentang perusahaan penerbit surat berharga syari’ah negara, PP No.57 tahun 2008 tentang pendirian perusahaan penerbit surat berharga syari’ah negara Indonesia, dan PP No.67 tahun 2008 tentang pendirian perusahaan penerbit surat berharga syari’ah negara Indonesia.
Ajaran Islam memang sangat kaya dengan prinsip dan nilai-nilai dasar yang bersifat universal, seperti menegakkan keadilan, menegakkan hukum, membangun demokrasi, membentuk jati diri pemimpin yang amanah, menciptakan keamanan dan ketertiban umum, serta menangani masalah sosial dan sebagainya. Tentunya, nilai-nilai tersebut dapat dijadikan sumber hukum yang terpenting berdiri sejajar dengan sumber-sumber hukum lainnya, yang kemudian akan melahirkan produk hukum positif atau hukum nasional. Prinsipnya, hukum dibuat, dipatuhi, mengikat serta harus ditegakkan demi keadilan dan kedamaian.