Swasta Borong Dolar USD 22 Miliar

Kamis 22-08-2013,00:00 WIB

       JAKARTA - Pantas saja Rupiah terus melemah. Selain tekanan ekonomi global dan defisit transaksi berjalan (current account), Rupiah juga tertekan karena besarnya jumlah utang swasta yang jatuh tempo pada September nanti. Akibatnya, swasta pun memborong dolar AS (USD) untuk membayar utangnya yang segera jatuh tempo.

       Ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad H. Wibowo mengatakan, sentimen eksternal dan defisit transaksi berjalan memang menjadi faktor signifikan yang melemahkan Rupiah. Tapi, faktor lain yang kurang mendapat perhatian adalah besarnya jumlah utang luar negeri pihak swasta yang segera jatuh tempo. “Jadi, kebutuhan dolar di pasar sangat tinggi, stok dolar yang ada jadi rebutan, sehingga harganya melonjak,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (21/8).

       Dradjad pun membeber data utang swasta yang terus menggunung. Pada akhir 2012, jumlah utang swasta tercatat USD 126,2 miliar. Pada akhir Juni 2013, nilainya sudah melonjak hingga USD 133,98 miliar. Itu terdiri dari utang bank USD 23,34 miliar dan korporasi nonbank USD 110,64 miliar.

       Dari jumlah tersebut, total utang yang jatuh tempo atau harus dibayar oleh pihak swasta pada 2013 mencapai USD 32,12 miliar. Jumlah itu jauh lebih besar dibanding utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2013 yang sebesar USD 8,97 miliar.

       Nah, dari total utang swasta yang jatuh tempo sebesar USD 32,12 miliar tersebut, yang sudah dibayar pada periode Januari - Juni 2013 sebanyak USD 9,86 miliar. Sedangkan USD 22,26 miliar sisanya harus dilunasi pada periode Juli - Desember 2013.

       “Ini sebagian besar jatuh tempo pada September. Jadi, perusahaan yang stok dolarnya belum cukup (untuk membayar utang), mencari di pasar (uang) dan berani membeli dengan harga tinggi, sehingga Rupiah melemah. Ketika nilai Rupiah makin anjlok, perusahaan-perusahaan pun makin banyak memburu dolar karena takut nanti dolarnya makin mahal. Jadinya ya begini (Rupiah terus melemah),” jelasnya.

       Kemarin, Rupiah memang seolah terjun bebas. Nilai tukar Rupiah BI berdasar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) melemah 219 poin dalam satu hari dan ditutup di level Rp 10.723 per USD. Ini merupakan Rupiah terlemah sejak 29 April 2009 yang ketika itu ada di posisi 10.859 per USD.

       Menurut Drjadjad, saat ini gejolak Rupiah banyak dipengaruhi supply and demand atau pasokan dan permintaan USD. Dari sisi supply, USD saat ini sedang kekurangan karena banyaknya aliran modal keluar. Sementara di sisi demand, kebutuhan USD justru melonjak. “Jadi, meski BI mengintervensi pasar dengan menggerojok dolar dari cadangan devisa, tetap saja masih kurang,” katanya. 

       Lantas, apa yang mesti dilakukan\" Peraih gelar doktor ekonomi dari University of Queensland Australia ini mengatakan, tidak banyak yang bisa dilakukan BI dan pemerintah dalam hal utang swasta. “Ini baiknya menjadi pelajaran. Ke depan, BI dan pemerintah harus memonitor lebih ketat utang swasta, agar jatuh temponya tidak menumpuk,” ucapnya.

       Yang cukup melegakan, lanjut dia, jumlah utang swasta yang jatuh tempo pada periode Januari - JUni 2014 mendatang, jumlahnya turun signifikan menjadi hanya USD 9,80 miliar. Artinya, kebutuhan USD dari pihak swasta tidak akan sebesar semester II 2013 ini.

       Sebenarnya, BI juga sudah mewaspadai besarnya utang swasta yang jatuh tempo pada semester II 2013 ini. Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, ada sekitar 15 persen utang swasta yang belum di-hedging atau dilindung nilai, akibatnya perusahaan pun terancam risiko kurs yang melemah. “Karena itu, BI akan terus monitor ketat utang swasta,” ujarnya.

       Sementara itu, Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, pemerintah akan segera merilis paket kebijakan sebagai respons atas tekanan terhadap Rupiah dan pasar modal Indonesia. Saat ini, paket tersebut masih di bahas di tingkat menko perekonomian. “JUmat nanti akan kita rilis,” katanya.

       Sayangnya, Chatib belum bersedia menyebut paket insentif yang akan dirilis. Yang jelas, lanjut dia, pemerintah akan menempuh kebijakan untuk mengurangi defisit transaksi berjalan yang saat ini membebani ekonomi Indonesia. “Intinya adalah meningkatkan ekspor, mengurangi impor, dan meningkatkan investasi,” jelasnya.

       Menteri Perindustrian M.S. Hidayat menyebut, salah satu insentif yang akan ditempuh pemerintah adalah melakukan relaksasi aturan yang selama ini dianggap ketat dan menghambat investasi. “Misalnya perizinan di sektor migas. Lalu, ada insentif pajak untuk meringankan pelaku usaha,” sebutnya.

       Sementara itu, rebound tipis indeks harga saham gabungan (IHSG) yang terjadi kemarin (21/8), dinilai belum menunjukkan adanya tren pembalikan arah. Head of Research PT Universal Broker Satrio Utomo mengatakan, pantulan sesaat IHSG tersebut masih diutup di bawah level resistance. \"Sehingga kalau besok (hari ini, red) terkoreksi juga masih bisa. Sampai saat ini, meski IHSG naik, belum ada tren pembalikan arah,\" ungkapnya kepada Jawa Pos, kemarin (21/8).

Tags :
Kategori :

Terkait