Kelima. Mengenai penahanan. Sedapat mungkin “menghindarkan” penahanan terhadap pelaku anak.
Keenam. Waktu Pemeriksaan. Proses pemeriksaan yang harus “Cepat”. Baik berkas dari kepolisian ke JPU maupun waktu dilimpahkan pengadilan.
Ketujuh. Putusan. Putusan hanya sepertiga dari ancaman pidana biasa.
Kedelapan. Harus mengutamakan “Keadilan Restoratif dimana penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
Kesembilan. Harus diusahakan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Kesepuluh. Adanya upaya Diversi dimana adanya pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Ketentuan diatas sudah diatur didalam UU No. 3 Tahun 1997, UU No. 11 Tahun 2012 dan kemudian telah direvisi oleh MK mengenai batas usia tindak pidana oleh pelaku anak. Apabila sebelumnya diatur usia antara 8 – 18 tahun, maka direvisi menjadi 12- 18 tahun.
Pertanggungjawaban Ahmad Dhani
Namun yang menjadi sorotan bukan mengenai proses hukum yang akan dilakukan terhadap si Dul. Tapi bagaimana pertanggungjawaban dari Ahmad Dhani (AD) dari peristiwa itu.
AD tidak dapat “melepaskan” peristiwa itu. AD harus bertanggungjawab terhadap Si Dul. Mengapa si Dul “bisa” mengendarai” kendaraan di jalan umum, padahal AD harus “mengawasi” dan bertanggungjawab terhadap si Dul.
Apabila didalam pemeriksaan dapat ditemukan, AD sudah sering “membiarkan” dan memberikan kebebasan kepada Si Dul “mengendarai”, maka AD harus dapat diminta pertanggungjawaban secara hukum.
Dalam proses hukum pidana, AD harus bertanggungjawab terjadinya peristiwa itu. Dalam bahasa lain biasa dikenal “pembiaran”. Sedangkan dalam hukum perdata, “hak mengasuh (pengampu)” dapat dicabut oleh hukum. Ibu si Dul dapat menggugat ke Pengadilan untuk mencabut hak asuh kepada AD.
Sehingga kejadian ini harus kita lihat secara komprehensif dan akan menjadi pelajaran ke depan. Apabila cuma “si dul” yang kemudian diproses secara hukum sesuai dengan Pengadilan Anak, maka kejadian ini hanyalah peristiwa biasa. Namun apabila pihak kepolisian ataupun penegak hukum kemudian dapat meminta “pertanggungjawaban” AD, maka akan menarik dan dapat menjadi yurisprudensi yang dapat ditarik menjadi sebuah pelajaran hukum.
Apalagi kemudian disusul bu Si Dul mengajukan “gugatan” pencabutan hak asuh (pengampu) terhadap AD. Maka ke depan, orang tua harus hati-hati memberikan kendaraan kepada anaknya yang belum dewasa. Selain akan menimbulkan masalah lalu lintas, secara hukum dapat “bertanggungjawab”.