JAKARTA - Awan kelabu yang menyelimuti perekonomian global diprediksi masih terus berlanjut. Hal itu membuat Bank Indonesia (BI) belum berani melonggarkan kebijakan moneternya.
Bank sentral pun memilih tetap mempertahankan tingkat BI rate atau suku bunga acuan di level 7,25 persen. Level suku bunga yang relatif tinggi itu diharapkan mampu memperketat penyaluran dana besar-besaran ke masyarakat.
\"Kami memutuskan tidak menyesuaikan tingkat bunga karena terus mewaspadai perkembangan nasional dan internasional. Berhati-hati kalau ada potensi inflasi atau ketidakpastian,\" ungkap Gubernur BI Agus Martowardojo dalam konferensi pers rapat dewan gubernur di gedung BI kemarin (8/10).
Kebijakan untuk mempertahankan BI rate pasca kenaikan 25 basis poin pada September lalu itu diikuti suku bunga lending facility dan suku bunga deposit facility yang masing-masing tetap pada level 7,25 persen dan 5,50 persen.
Agus mengakui, kinerja perekonomian di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Jepang belum kuat, meski menunjukkan perbaikan. Yang terbaru, misalnya, pemerintah AS akhirnya melangsungkan shutdown atau penghentian pelayanan lantaran tidak ada anggaran. Belum lagi soal debt ceiling alias pagu utang yang memiliki waktu hingga 17 Oktober 2013 atau AS terancam default.
Sebaliknya, dari dalam negeri, defisit neraca pembayaran, defisit transaksi berjalan, hingga tekanan terhadap nilai tukar masih terus menghantui. \"Karena itu, kami akan mengoptimalkan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial untuk memastikan bahwa tekanan inflasi tetap terkendali. Di satu sisi, kami mengikuti pertumbuhan kredit dan mengamati kualitas serta likuiditas perbankan,\" ungkapnya.
Artinya, hingga kini BI terus menyoroti dengan ketat aktivitas perbankan dalam penyaluran pembiayaan. Sebagaimana diketahui, melebarnya defisit transaksi berjalan harus dibendung dengan pengurangan kredit impor yang selama ini digunakan untuk menggenjot investasi. Di satu sisi, otoritas moneter juga perlu mengantisipasi adanya inflasi yang tinggi lantaran pembiayaan di sektor konsumsi yang meninggi.
Akibatnya, pertumbuhan kredit secara keseluruhan mulai melambat meski masih cukup tinggi, yakni 22,2 persen year-on-year (yoy). Pertumbuhan kredit yang relatif pada rentang tinggi tersebut lebih mengarah ke hal teknis. Yakni, penarikan kredit dari komitmen sebelumnya dan terpengaruh perhitungan nilai tukar. Tetapi, sebaliknya, komitmen kredit baru terus turun.
\"Sebanyak 14 persen kredit berbentuk valuta asing. Itu terjadi karena nilai kurs dolar naik. Namun, pertumbuhan kredit kita tanpa perhitungan kurs termoderasi sampai 20 persen. Sampai akhir tahun, pertumbuhan kredit sekitar itu. Tumbuh tapi pelan,\" jelas Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah.
Industri perbankan, rupanya, telah mengantisipasi kebijakan BI. Ketua Asosiasi Perbankan Nasional Sigit Pramono mengungkapkan, kinerja perbankan hingga akhir tahun ini tidak terlampau terpengaruh, kendati ada tekanan dari BI. Tantangan tersebut, kata dia, baru muncul tahun depan. Diprediksi, ada penyesuaian penyaluran kredit perbankan. \"Katakanlah pertumbuhan ekonomi kita 5,8 persen, maka pertumbuhan kreditnya hanya 17,4 persen hingga 22 persen,\" terangnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menuturkan, hingga akhir tahun ini perbankan diproyeksikan masih bisa mencapai target. \"Biasanya ada jeda enam bulan, apakah kredit akan turun atau tidak. Artinya, baru Maret kelihatan. Kalau 20 persen, akhir tahun tidak susah,\" ujarnya.
Lantaran itu, ungkap Aviliani, untuk mengantisipasi berbagai tekanan, perbankan kini cenderung berlomba-lomba mencari dana pihak ketiga (DPK). \"Karena itu, saat ini dana jadi mahal. Itu tantangan terbesar bank untuk mendapatkan DPK. Apalagi, saat ini ORI juga memasang bunga yang tinggi,\" jelasnya.
(gal/c5/kim)