Perlu 23 Tahun Meyakinkan Ilmu Tusuk Jarum

Kamis 19-12-2013,00:00 WIB

 \"Kalau begitu, saya juga bisa katakan bahwa ilmu kedokteran juga bukan dari Indonesia,\" ungkap suami Riana Djatiwati itu.

 Koosnadi menceritakan, ketertarikannya mendalami ilmu akupunktur berawal saat bertugas sebagai dokter umum di Sampang, Madura. Pada 1981, dia menjadi dokter di salah satu puskesmas di sana. Anehnya, selama melayani masyarakat itulah, Koosnadi sering \"dipaksa\" pasien untuk menyuntik di bagian tubuh mereka yang sakit.

 \"Saya heran, tapi tidak bisa menolak permintaan mereka. Hebatnya, pasien (yang minta disuntik di bagian yang sakit) memang sembuh,\" ungkap bapak dua anak itu.

 Koosnadi lalu berpikir keras mengenai fenomena unik di Sampang tersebut. Dia kemudian meyakini bahwa ada sesuatu dengan titik-titik tubuh yang dirangsang dengan suntikan jarum itu.

 \"Pasti ada sesuatu ketika permukaan tubuh dirangsang kemudian dapat melakukan perbaikan fungsi. Dari situlah saya tertarik mendalami hal itu dan membuktikan manfaat ilmu akupunktur,\" bebernya.

 Pada 1986, Koosnadi mengambil spesialis radiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Saat itu dia mulai belajar akupunktur tradisional secara serius. Koosnadi bertekad membuka ilmu tersebut secara ilmiah. Berbagai penelitian terkait dengan akupunktur pun dilakukan.

 Keinginan Koosnadi untuk mengembangkan ilmu akupunktur juga mendapat dorongan dari Menristek (saat itu) B.J. Habibie. Pada 1992, saat menghadiri pameran riset dan teknologi di Jakarta, Habibie melihat potensi ilmu itu untuk dikembangkan. Koosnadi lalu berupaya membuktikan ilmu tersebut secara ilmiah dan menggabungkan dengan kedokteran medis yang berbasis ilmiah serta bukti-bukti empiris.

 \"Saya terus meneliti dan membuat ilmu akupunktur sebagai kedokteran energi, bukan kimiawi (obat, Red). Ilmu kedokteran tidak hanya minum obat, tapi energi juga bisa menyembuhkan,\" ucap peneliti 62 tahun itu.

 Puncak penelitian tentang akupunktur terungkap dalam disertasi doktornya pada 1999. Koosnadi pun menjadi doktor akupunktur pertama di Indonesia saat itu. Disertasinya tentang Profil Transduksi (Hantaran Rangsang) Titik Akupunktur mendasari semua penelitian akupunktur di Indonesia.

 \"Sebelum itu, akupunktur tradisional tidak didasari ilmu kedokteran sehingga orang selalu mempertanyakan keilmiahannya,\" bebernya.

Sebelumnya, kata Koosnadi, orang mempertanyakan korelasi tusuk jarum di titik tertentu dengan paru-paru. \"Belum ada penjelasan titik rangsangan itu dari mana. Nah, penelitian saya menjelaskan hal itu sehingga menjadi dasar penelitian akupunktur selanjutnya,\" ungkap lulusan FK Unibraw 1980 itu.

Dalam penerapan ilmu akupunktur Koosnadi menggunakan pendekatan kedokteran nuklir. Pendekatan itu bisa menjelaskan proses terjadinya hantaran rangsangan.

Untuk meraih gelar doktor, Koosnadi membutuhkan proses panjang dan berliku. Ada 10 guru besar yang menjadi pembimbingnya. Uniknya, kata dia, 10 gubes itu belajar akupunktur terlebih dahulu kepadanya sebelum menjadi pembimbing.

Koosnadi juga harus belajar ke Jerman untuk membuktikan kebenaran penelitiannya. Ilmu akupunktur yang terbilang masih awam saat itu mengundang rasa penasaran para guru besar penguji disertasinya. Pada saat ujian terbuka, 36 profesor hadir. Koosnadi dinyatakan lulus dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,89.

Selama lebih dari 20 tahun mendalami akupunktur, dia sudah mencetak 2.500 dokter dan 1.000 paramedis yang mendalami akupunktur. Ini menunjukkan bahwa ke depan ilmu ini sangat prospektif. Sebab, Indonesia adalah salah satu negara yang menerima akupunktur sebagai pelayanan kesehatan formal. Yakni, mulai praktik pribadi hingga rumah sakit. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga bisa menerima ilmu ini. \"Tidak banyak negara yang seperti Indonesia,\" ucapnya.

Koosnadi juga memberikan banyak pelatihan akupunktur di dalam dan luar negeri. Di antaranya dia pernah mengajar di Victoria University (Australia), Davao Medical School (Filipina), dan University of Amsterdam (Belanda).

Tags :
Kategori :

Terkait