Oleh Syamsul Bahri, SE
Bumi menyediakan cukup kebutuhan seluruh umat manusia, tapi bukan untuk kerakusan. Memang, Kerakusan tidak hanya menciptakan kemiskinan bagi sesama manusia, tapi juga bisa merusak alam. Keserakahan membuat alam dieksplorasi secara berlebihan (Mahatma Gandhi)
Di akhir tahun 2013-awal tahun 2014, kita saksikan peristiwa bencana banjir melanda Indonesia. Fakta lapangan, ternyata hutan tidak memiliki fungsi mencegah dan meminimalkan bencana tersebut. Hutannya tidak memiliki kekuatan daya dukung untuk itu. Sehingga banyak wilayah banjir dan bahaya ikutan lainnya menjadi bagian yang menghantui masyarakat. Bukan hanya harta dan benda, bahkan menyentuh hal yang sangat mendasar dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Peringatan melalui banjir ini, mungkin akan mengingatkan kepada Pemerintah, bahwa orientasi pembangunan ekonomi harus dibarengi orientasi pembangunan ekonomi. Dalam artian upaya pemanfaatan kawasan hutan seharusnya bisa berkontribusi dalam mengurangi pemanasan global.
Dulunya, hutan sebagai pengatur tata guna air dan tata guna tanah, tetapi hutan saat ini justru menjadi sumber air mata yang membawa kesengsaraan dalam bentuk bencana alam. Dari judul diatas, memang tidak ada korelasi antara air hujan dan air mata. Tetapi kondisi hutan dan tata ruang menjadi permasalahan baik dimusim kemarau maupun dimusim hujan. Sehingga saat ini air hujan menjadi air mata.
Banjir dan bencana hendaknya menjadi cermin dan evaluasi bagi semua pihak. Saat ini kemampuan hutan tidak sanggup lagi untuk mendukung kehidupan. Sehingga kemampuan tersebut harus diperkuat melalui kebijakan mempertahankan hutan. Masyarakat harus memiliki tanggung jawab terhadap pelestarian hutan.
Kenyataan yang terjadi upaya pencegahan banjir di beberapa daerah, tidak bisa hanya melalui program kali bersih, pembuatan tanggul, pengerokan sungai. Secara tekhnik konservasi sipil, dengan daya tahan dan kemampuan yang terbatas. Akhirnya tidak mampu menahan debit air yang membawa erosi. Namun yang lebih utama adalah penangan penanaman hutan yang ada dihulu dan disekitar Sungai, melalui tehnik vegetasi.
Memang harus disadari bahwa penaganan banjir dan bencana alam tidak bisa dilakukan secara administratif pemerintahan yang menonjolkan ego otonomi daerah. Namun harus ditangani secara Bioregional management planning dalam kontek Daerah Aliran Sungai. Sehingga memerlukan koordinasi dan implementasi yang lebih intensif. Baik menyangkut masyarakat tentunya pemberdayaan ekonomi masyarakat. Maupun menyangkut tekhnik pelaksanaan, yang saat ini banyaknya tuntutan masyarakat dan LSM terhadap pengelolaan hutan di Indonesia, memerlukan pengkajian yang lebih berpihak kepada masyarakat.
Tuntutan masyarakat dan Pemerintah Kabupaten antara lain dari masyarakat dan Pemerintah Kabupaten yang memiliki kawasan Konservasi lebih dari 30% yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dan PAD, dalam bentuk sharing benefit (financial dan manfaat) dan perlakuan khusus oleh Pemerintah Propinsi dan Pusat serta lembaga Internasional merupakan suatu tuntutan yang wajar sebagai sebuah Kabupaten Otonom dalam rangka meningkat PAD dan Peningakatan Penerimaan DAU sebagai sumber pembiayaan pembangunan merupakan suatu hal yang wajar, karena Kabupaten tersebut secara financial tidak mendapatkan PAD dari kawasan yang dijaga dan dipertahankan.
Sesuai dengan tulisan Dr Aulia Tasman, SE. M.Sc di Jambi Independent tanggal 17 November 2003 yang berjudul “Akankah peristiwa Bahorok melanda Jambi” pertanyaan beliau menurut hemat kami peristiwa bahorok dan peristiwa lainnya bisa diminimalkan melanda Propinsi Jambi apabila kebijakan pembangunan tetap konsekwen mempertahankan dan melestarikan kawasan Lindung dan kawasan Konservasi antara lain TNKS (karena hulu dari Sungai-Sungai yang mengalir ke Wilayah Jambi yang bermuara ke Selat Berhala ) dan TNBT, TN Bukit 12 secara komprhensif mulai dari tatatan pemerintah sampai ke masyarakat adat, serta menjalankan seutuhya peraturan bidang Kehutanan dan Perkebunaan serta lingkungan hidup secara benar dalam kebijakan dan benar dalam implementasi, bukan pembenaran dalam pelaksanaan.
Bahwa air hujan merupakan berkah, tetapi saat ini air hujan justru menjadi momok bagi masyarakat, karena air hujan lebih cenderung membawa dampak munculnya Air mata,
Mari dengan melestarikan dan melindungi Kawasan Konservasi dan kawasan lindung, serta merahiblitasi kerusakannya melalui kebersamaan dalam langkah untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam, air hujan akan menjadi berkah dan tidak menjadi air mata.
(penulis adalah Pengamat, Conservationis di TN Berbak dan Dosen STIE SAK)