Selamatkan Gajah Dari Kepunahan

Jumat 07-02-2014,00:00 WIB
Oleh:

Oleh : Yanrico SP

Gajah sesungguhnya adalah hewan yang penurut, tidak buas bahkan mudah beradaptasi dengan kehidupan manusia. Berdasarkan informasi ilmiah, gajah dapat belajar sebanyak 60 jenis arahan yang berbeda. Gajah dibeberapa negara dijadikan simbol negara dan dianggap sebagai hewan suci, seperti di India dan Thailand. Famili Elephantidae ini merupakan  mamalia darat terbesar yang masih hidup dan tersebar merata di wilayah Indonesia ini. Hewan yang berat tubuhnya bisa sampai 4-6 ton ini hidup berkelompok melakukan pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari pakan atau obat alaminya. Satu kelompok biasanya terdiri dari 10 sampai 30 ekor.

Namun belakangan ini, terutama diwilayah Provinsi Jambi sering kejadian sekelompok atau beberapa kelompok gajah mengamuk merusak pertanian masyarakat terutama kebun sawit dan karet. Gajah gajah tersebut menjadi “sangat sensitif” apabila manusia malah mengganggu atau menghalau mereka. Secara detail, kumpulan gajah merusak dan memakan pucuk daun muda kelapa sawit sebagai makanannya. Bahkan gajah tersebut bisa mencabut belasan batang pohon karet dengan belalainya. Kejadian ini dari masa ke masa terus terjadi, konflik tersebut rutin terjadi antara gajah dan masyarakat. Hewan bergading ini bahkan mendiami kebun milik warga. Mereka makan, tidur dan bermain sesamanya. Alhasil kerusakan yang ditimbulkan cukup besar, seperti yang terjadi pada tanggal 8 Januari 2014 di Desa Pucuk Jambi, Kec. VII Koto, Kab. Tebo. Menurut warga, kebun yang rusak tak kurang dari 200 Hektar. Bukan hanya perkebunan plasma, perkebunan inti pun tetap jadi sasaran gajah. Gajah gajah tersebut mendiami kebun mereka selama 3 minggu. Bila dikilas balik, Tahun 2011 saja serangan gajah ini terus berulang pada bulan Mei, Agustus, September dan Oktober. Berbagai cara dilakukan warga untuk mengantisipasi serangan gajah, misalnya di Desa Sekutur Jaya, Kecamatan Serai Serumpun, Kabupaten Tebo, membangun pagar listrik bertegangan rendah. Meski beraliran listrik, pagar setinggi 1,8 meter tersebut dipastikan tidak mengakibatkan gajah tewas bila tersengat. Hanya akan membuat mereka terlempar atau kaget. Pemasangan pagar berasal dari iuran dan dipasang sepanjang 2 kilometer, dan masih berlanjut hingga 7 atau 8 kilometer mengelilingi seluruh kebun masyarakat setempat yang selama ini menjadi incaran gajah.

Peristiwa lebih tragis terjadi di Indragiri Hulu, akibat serangan puluhan gajah 2 (dua) orang tewas, total 6 (enam) rumah warga rusak, dan sebagian warga desa di sekitar lokasi terpaksa mengungsi untuk menyelamatkan diri. Didaerah daerah lain pun begitu, konflik berkepanjangan membuat korban dari kedua belah pihak berjatuhan. Banyak gajah yang mati terbunuh sia sia padahal jumlah populasinya kini kurang dari 3.000 ekor dan lebih kurang 120 ekor berada di blok Bukit Tigapuluh. Gajah Sumatra yang merupakan sub-spesies gajah Asia ini hanya tinggal di Pulau Sumatra.

Sebenarnya gajah bukan tanpa sebab bertindak sedemikian mengamuk dan merusak. Ada kausalitas yang terpapar, ada sebab ada akibat. Gajah memiliki nafsu makan yang luar biasa, dua pertiga aktifitasnya dalam sehari adalah makan. Seekor gajah dapat memakan sekitar 250 kg tumbuh-tumbuhan dan minum hingga 83 liter air setiap harinya. Sebagai ilustrasi, dalam satu tahun seekor gajah dapat menghabiskan sekitar 15.500 galon air dan memakan: 1.600 buah jagung; 2.000 buah kentang; 3.000 buah kubis, apel dan wortel; 100.000 pound daun kelapa; 1.500 pound daun pisang; 12.000 pon rumput. Dengan nafsu makan sebesar itu artinya tidak sebanding dengan habitat dan makanan yang tersedia.

Pembukaan hutan secara agresif untuk perkebunan telah merenggut 80 persen habitat gajah Sumatra. Keberadaan hutan murni banyak yang telah menjadi hutan tanaman industri. Sejak hutan jadi Hutan Tanaman Industri (HTI), banyak pencuri kayu dan perambah masuk sehingga mengganggu rasa betah gajah. Yang lebih memprihatinkan, para pemegang izin pemanfaatan kayu tidak menebang hutan di areal mereka, tetapi mencuri kayu hingga di luar areal sampai ke kawasan hutan lindung. Kondisi ini diperparah lagi dengan konversi hutan menjadi kebun kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI).

Direktur Program Komunitas Konservasi Indonesia Warung Informasi Konservasi Jambi, Robert Aritonang pernah menyatakan bahwa Taman Nasional Bukit Tiga Puluh yang memiliki luas 144.233 ha di Riau dan 33.000 ha di Jambi saat ini makin rusak. Disinyalir bahwa kerusakan hutan di Provinsi Jambi sudah mencapai 971.049 ha. Selain itu bahan makanannya menjadi berkurang karena hutan berganti wajah dari multi kultur menjadi mono kultur. Gajah-gajah kelaparan tersebut diperkirakan keluar dari habitatnya di hutan taman nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT). Mereka menyusuri kebun-kebun masyarakat dan sebagian kecil kebun miliki perusahaan untuk mencari makan.

Instansi berwenang dan yang terkait perlu sama sama saling padu bahu membahu mengatasi masalah ini. Aspek ekologi sekali  lagi mutlak diperhatikan dalam menentukan peruntukan suatu kawasan hutan. Untuk mencegah konflik terulang, pemerintah wajib mengalokasikan suatu kawasan khusus untuk gajah. Lingkungan habitat gajah perlu dibenah dan diperbaiki. Konservasi Alam patut ditingkatkan. Pengawasan dan perizinan hak usaha hutan perlu dikaji ulang. Jika habitatnya sudah kaya bahan makanan dan nyaman ditinggali maka gajah tak akan liar dan mengamuk kembali. Supaya gajah tidak bisa lagi menyeberang, di perbatasan hutan dengan kebun petani dibangun kanal atau parit.

(Penulis adalah Praktisi dan Pengamat masalah Pertanian)

Tags :
Kategori :

Terkait