Oleh: Amri Ikhsan*)
Menjelang pemilu legislatif 9 April 2014, kita akan selalu berhadapan dengan baliho, spanduk yang pasang oleh para caleg untuk mencari simpati publik atas pencalonannya. Kita benar-benar sudah dikepung oleh ribuan bendera partai serta poster, spanduk, dan baliho para calon anggota legislatif. Ke mana pun kita melangkah dan memandang, mata kita berbenturan dengan wajah-wajah para caleg itu. Seakan-akan, ke mana pun kita pergi, kita diikuti oleh pandangan mata dalam gambar itu dan seolah olah baliho itu memanggil kita untuk minta tolong ‘mencoblos’ wajahnya.
Diakui bahwa dalam spanduk itu, tidak hanya menonjolkan wajah wajah calon pemimpin bangsa tapi juga dibumbui oleh ‘kata-kata’ inspiratif yang eye-catching’ tentu saja bermaksud untuk menambah yakin publik bahwa mereka ini ‘calon kuat’ untuk dipilih nanti.
Slogan itu merupakan wacana, janji, visi, harapan yang diekspos oleh para caleg untuk menunjukkan identitas diri kepada publik. Dan bagi sebagian publik, slogan caleg merupakan salah satu referensi membuat keputusan menentukan pilihan dalam pemilu nanti. Dihipotesa bahwa semakin ‘dekat’ bahasa slogan para caleg dengan ‘kebutuhan publik’, semakin simpati publik terhadap pencalonan caleg itu. Sebaliknya semakin ‘tinggi’ bahasa slogan yang dipakai apalagi menyanjung setinggi-tingginya caleg itu, semakin tidak komunikatif pesan itu sampai ke publik.
Ini sesuai dengan teori menggunakan bahasa untuk komunikasi, yaitu, prinsip kerjasama (cooperative prinsiple) yang mengatur bagaimana komunikasi itu bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Artinya, caleg mestinya selalu berusaha agar slogannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan ringkas (concise), dan selalu pada persoalan (straight forward). (Dewa Putu Wijana, 1996)
Bila dalam sebuah spanduk terjadi ‘penyimpangan’ (mengatakan sesuatu yang tidak benar, tidak relevan, berlebihan, tidak jelas), ini berarti ada implikasi-implikasi ‘tersembunyi’ yang hendak dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ditemukan oleh publik, maka caleg itu telah ‘melanggar kerjasama’ atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, prinsip kerja sama mesti dipatuhi oleh para caleg dan publik bisa menangkap maksud dan tujuan caleg itu secara bermakna dan proses komunikasi itu berjalan lancar.
Supaya ‘ujaran’ bisa didengar secara komunikatif oleh publik, idealnya para caleg mestinya mengikuti aturan (maksim) sederhana yang ditawarkan oleh pakar pragmatik, sbb: Pertama, maksim kuantitas, caleg seharusnya memberikan dan menyiapkan informasi dan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh publik, jangan memberikan informasi yang berlebihan; Kedua, maksim kualitas, mewajibkan setiap caleg memberikan informasi yang sebenarnya. Informasi dan kontribusi caleg hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Jangan pernah mengatakan sesuatu yang diyakini bahwa itu kurang benar atau tidak benar. Katakanlah yang benar itu benar, yang salah itu salah;
Ketiga, maksim relevansi, mengharuskan caleg memberikan informasi dan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Informasi yang disampaikan mestinya sesuai dengan ‘kebutuhan’ publik; dan Keempat, maksim pelaksanaan, mengharuskan caleg bicara secara langsung, tidak kabur, tidak ambigu, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut dan tertib. (diadopsi dari Levinson, 1983)
Secara pragmatiks, ditemukan minimal 3 (tiga) maksud dan tujuan caleg menulis slogan dispanduk mereka. Pertama, ungkapan direktif: Sebuah situasi dimana caleg memerintah dan minta tolong kepada publik untuk melakukan sesuatu: Mohon doa restu dan dukungannya. Coblos nomor, Coblos saja... Ingat 9 April 2014, coblos nomor urut.., Jangan lupa, tanggal 9 april, pilih partai...;
Kedua, ungkapan komisif: sebuah situasi yang menggambarkan apa yang sudah dan akan dilaksanakan oleh caleg selama ini: Bekerja untuk Rakyat, mengabdi untuk Rakyat, Berjuang untuk kesejahteraan rakyat, utamakan kepentingan rakyat, hidup mati bersama rakyat, Tidak hanya berani jujur tapi punya hati nurani.
Ketiga, ungkapan ekspresif: sebuah situasi dimana caleg sendiri yang menilai dan memuji dirinya sendiri: tegas, peduli, amanah, anti korupsi, muda, matang, mantap, berani, jujur, aspiratif, amanah, sudah teruji dan terbukti, dsb;
Jadi, secara pragmatik, spanduk memiliki dua fungsi yakni fungsi memberi informasi dan mempersuasi. Pemberi informasi berarti memberi gambaran tentang siapa dan bagaimana calon yang mencalonkan diri. Sedangkan fungsi persuasi berarti memanipulasi kesadaran, daya tarik dan perilaku masyarakat agar tergerak untuk mengikuti kehendak politisi.
Oleh karena itu, kalau caleg berbicara, dengarkan, kalau caleg pasang spanduk, perhatikanlah. Tapi jangan terjebak dalam retorika bahasa. Karena bahasa para politisi biasanya normatif; semuanya terdengar baik, indah dan menawan.
Ini terbukti dari hasil survey Indikator Politik Indonesia (IPI) dalam membaca bahasa iklan para calon legislatif menjelang Pileg 9 April 2014: sekitar 66 persen pemilih menilai politisi cenderung berbicara tentang dirinya yang baik-baik saja.
Jangan \"buru-buru\" menentukan pilihan hanya dengan membaca spanduk para calon. Tugas kita sekarang, mendoakan dan merestui pencalonan politisi ini, tapi kalau urusan mencoblos, masih ada waktu bagi kita berfikir dan berijtihad politik!