Mengintip \"Bulan Sabit\" Terbit di Eropa, Laporan Perjalanan dari Spanyol dan Prancis
Enam hari menapaktilasi sejarah peradaban Islam di Andalusia, Spanyol, membuat hati bergejolak. Di satu sisi saya bangga menyaksikan peninggalan sejarah Islam yang luar biasa di Granada, Sevilla, dan Cordoba. Di sisi lain sedih karena peradaban yang sangat maju selama ratusan tahun itu kini telah meredup. Berikut lanjutan catatan perjalanan AGUS MUSTOFA, penulis buku Tasawuf Modern.
Granada dengan Istana Alhambra dan Sevilla dengan Royal Alcazar adalah jejak-jejak keemasan peradaban Islam masa lalu yang luar biasa, selain Mezquita-Cathedral de Cordoba. Istana Alhambra di Granada merupakan benteng terakhir kekhalifahan Islam di Andalusia yang jatuh ke tangan Kerajaan Spanyol pada 1492. Setelah itu, peradaban Islam di Eropa tak lagi berpendar. Meskipun pemikiran-pemikiran pada zaman keemasan Islam tersebut terbukti memicu negara-negara Eropa mengalami renaissance alias kebangkitan pada abad-abad setelahnya.
Renaissance dalam bahasa Prancis bermakna kebangkitan atau kelahiran kembali peradaban Eropa setelah mengalami masa kegelapan karena pertentangan serius ilmuwan-budayawan dengan kekuasaan gereja yang otoriter. Pemikiran Averroes yang sekuler mendorong sejumlah ilmuwan-budayawan Eropa abad pertengahan melakukan gerakan untuk menentang dominasi gereja. Akibatnya, beberapa di antara mereka dihukum mati. Salah satunya Galileo Galilei (1564\"1642 M). Dia dihukum karena menyatakan peredaran tata surya tidak geosentris \"berpusat pada bumi\" sebagaimana yang diyakini doktrin gereja, melainkan heliosentris \"berpusat pada matahari.
Perkembangan sains, teknologi, dan budaya pada abad pertengahan lantas menjurus ke sekularisasi peradaban Eropa yang cenderung meninggalkan agama, khususnya gereja yang waktu itu sangat berkuasa. Sekularisme tersebut semakin kuat pada abad-abad sesudahnya sampai kini. Bukan hanya di kalangan budayawan dan ilmuwan, melainkan juga di kalangan awam.
***
Selasa malam (11/3) saya berpisah dengan belasan jamaah yang selama beberapa hari bersama-sama menapaktilasi jejak-jejak peradaban Islam di Andalusia. Mereka pulang ke Indonesia dari Bandara Barajas, Madrid, dengan menumpang Emirates Airlines. Sedangkan saya dan istri meneruskan perjalanan ke Paris, Prancis, dengan pesawat Air France.
Sekitar pukul 22.15 waktu setempat pesawat mendarat di Bandara Charles de Gaulle. Suasana bandara sepi karena sudah larut malam untuk ukuran Eropa. Keluar dari ruang baggage claim, saya disambut taksi. Seorang pria tinggi besar berkulit gelap dan berambut keriting keluar dari sedan Mercy. Dia mempersilakan kami masuk ke taksinya. \"Where are you going to?\" sapanya dalam bahasa Inggris berdialek campuran antara Prancis dan Afrika.
\"To this hotel, please,\" jawab saya seraya menunjukkan selembar voucher: Beaugrenelle Eiffel Tour, 19 Rue Viala, Paris. Dalam perjalanan sekitar satu jam saya mengobrol ringan dengan pria berkebangsaan Aljazair itu. Saya menduga dia seorang muslim, maka saya bertanya, \"Are you moslem?\" Di luar dugaan dia menjawab, \"No, I am not Moslem, not Buddhist, not Christian, no religion. All religions are good, right?\"
Saya tiba-tiba tersadar bahwa saya sedang berada di Eropa, di mana masyarakatnya sedemikian sekuler. Kehidupan sehari-hari mereka terpisah dari agama. Mereka mengaku bertuhan, tetapi tidak beragama. Saya menjadi teringat dengan Ben, tour guide kami di Spanyol. Saat itu saya juga salah mengira. Saya duga pria bule tinggi besar yang ramah tersebut beragama Katolik sebagaimana mayoritas rakyat Spanyol. Ternyata dia menjawab, \"No, I\"m not Christian\" I don\"t know what I am. But my God inside my heart.\"
Begitulah rata-rata masyarakat Eropa enggan beragama meskipun mengaku bertuhan. Ini dampak dari kebangkitan peradaban Eropa pada zaman renaisans yang memberontak terhadap dominasi gereja waktu itu. Aktivitas budaya, ekonomi, politik, sains, dan teknologi mereka pisahkan dari aktivitas agama.
Itu agak berbeda dengan komunitas muslim di Prancis. Meskipun yang aktif di masjid hanya sekitar 10 persen dari 5 juta jamaah, mereka tetap menunjukkan integritas yang utuh dalam menjalankan agama. Khususnya ditunjukkan ketika Ramadan datang. Jamaah di masjid-masjid selalu penuh, meluber ke halaman.
Di Paris saya menyempatkan diri untuk salat berjamaah di masjid agung. Seusai salat Asar di Grande Mosquee de Paris, saya berdiskusi dengan pengurus masjid. Menurut Slimane Nador, pria Prancis yang menjadi juru bicara Grande Mosquee, masyarakat muslim Prancis memiliki \"jenis sekularisme\" yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat Eropa. Yakni, \"sekuler\" dalam arti mau belajar dan menuntut ilmu apa pun dari kalangan nonmuslim, sebagaimana yang telah dilakukan Averroes atau Ibnu Rusyd pada zaman keemasan Islam. Tidak harus dari para ulama muslim sebagaimana yang \"diwajibkan\" sebagian kalangan Islam konvensional.
Itulah sebab Ibnu Rusyd, yang oleh sebagian kalangan Islam dicap sebagai Islam sekuler, bisa diterima masyarakat Eropa yang agamanya berbeda sekalipun. Karya-karyanya diakui sampai kini. Bahkan, namanya diabadikan sebagai nama salah satu benda langit: asteroid 8318 Averroes. Juga nama tanaman: genus Averrhoa. Dia dianggap memiliki kemiripan pemikiran dengan filsuf Romawi Aristoteles. Filsuf zaman Romawi itu pun \"kembali hidup\" di Eropa lewat karya-karya Averroes selama tiga dekade masa produktifnya.