Oleh : Arifadi Budiarjo
“Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata Emansipasi belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup didalam hati sanubarai saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.”(Surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
Perjuangan kesetaraan kaum perempuan dan laki – laki - atau belakangan ini banyak dikenal dengan kesetaraan gender yang diperjuangkan Kartini tampaknya masih relevan hingga hari ini. Tentu saja situasi hari ini tentu lebih baik dibandingkan situasi yang dialami Kartini.Tidak sedikit perempuan Indonesia mengukir prestasi di berbagai bidang dan membuktikan bahwa perannya dapat setara dengan kaum laki – laki.Namun persoalan ketidakadilan gender tampaknya belum sepenuhnya tuntas di negeri ini.
Gender belakangan ini memang telah menjadi wacana public dan menjadi kosa kata yang kerap muncul dalam artikel di media massa, dalam pidato dan sambutan, dan berbagai kajian akademis namun tidak jarang gender masih dipahami secara parsial atau bahkan kurang tepat. Tidak jarang gender dianggap sama dengan jenis kelamin atau bahkan gender = perempuan. Padahal gender berbeda dengan jenis kelamin yang membedakan perempuan dan laki – laki dari aspek biologis.
Robert Stoller (1968) memberi batasan pengertian gender untuk membedakan perbedaan fungsi dan peran sosial antara perempuan dan laki – laki. Secara ssederhana gender dapat dipahami sebagai perbedaan mengenai fungsi dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh social dan budaya masyarakat. Keadilan gender inilah yang sebenarnya diperjuangkan Kartini lebih dari 100 tahun lalu ketika dia prihatin melihat kaum-nya terpinggirkan karena situasi social yang ada
Ketimpangan gender
Hari ini, berbagai kalanganterus mengkampanyekan tentang kesetaraan genderbaik pada skala internasional, nasional maupun ke masyarakat akar rumput, namun upaya ini masih perlu menjadi perhatian bersama dan menjadi salah satu agenda penting dalam pembangunan.Dalam Konferensi PBB untuk Perempuan IV di Beijing tahun 1995 dilahirkan konsep Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming) yang merupakan strategi untuk mendorong lahirnya kebijakan pembangunan yang mempertimbangkan peran, partisipasi, kontrol dan manfaat bagi perempuan mulai dari tahap perencanaan, implementasi, hingga evaluasi di seluruh sector.Tujuan akhir Pengarusutamaan Gender ini adalah keadilan gender dalam proses pembangunan.
Mengapa keadilan gender? Karena ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat tentu membuat tujuan pembangunan bagi kepentingan seluruh warga tidak akan kian sulit tercapai dan di sisi lain ketidakdilan gender membawa berbagai implikasi yang pada akhirnya meminggirkan kaum perempuan. Pertama, pelabelan negatif terhadap perempuan (stereotyping).Karena terbentuk secara sosio kultural, banyak pelabelan negatif terhadap kaum perempuan yang menjadi barrier tersendiri bagi kaum perempuan. Misalnya saja jika seorang perempuan pulang bekerja hingga larut malam mungkin akan dianggap sebagai perempuan yang kurang punya tata krama berbeda dengan laki – laki barangkali mungkin dianggap sebagai sosok yang bertanggung jawab karena bekerja keras bagi keluarga.