Pulang dari Brasil, Tiga Alumnus Tim SCWC Dapat Beasiswa di JFA
JALAN gelap hidup Suharja mendadak terang seiring dengan terpilihnya dirinya sebagai bagian dari tim SCWC Indonesia yang berlaga di Rio de Janeiro, Brasil, awal April lalu. Bahkan, dalam kejuaraan itu dia menjadi salah seorang bintang tim Indonesia. Remaja 16 tahun tersebut mampu mencetak 10 gol di antara total 25 gol yang berhasil dilesakkan skuad Indonesia.
Prestasi yang ditorehkan Suharja di Brasil itu rupanya menarik perhatian salah satu akademi sepak bola di ibu kota, Jakarta Football Academy (JFA). Suharja langsung ditawari untuk masuk ke sekolah sepak bola (SSB) tersebut.
Tanpa pikir panjang, beberapa hari setelah pulang dari Negeri Samba, Suharja menjawab tawaran itu. Dengan senang hati dia bersedia bergabung di JFA. Sebab, dengan cara ini, mimpinya menjadi pesepak bola profesional terbuka lebar.
Maka, sejak Minggu pekan lalu (13/4), Suharja resmi mulai berlatih bersama JFA. Memang, JFA bukan klub peserta kompetisi ISL, Divisi Utama, maupun amatir (Divisi I) PSSI. Namun, kredibilitas dan kualitas akademi sepak bola itu bisa menjadi jalan bagi Suharja untuk mewujudkan cita-cita menjadi pesepak bola profesional.
Sejumlah prestasi mentereng pernah diraih JFA. Antara lain menjuarai Piala Danone Indonesia pada 2010 dan mewakili Indonesia dalam Gothia Cup di Swedia. Selain itu, akademi sepak bola yang bermarkas di lapangan Wing I Paskhas, Pondok Gede, Jakarta Timur, tersebut menyumbangkan beberapa siswa terbaiknya di timnas U-14 dan U-16.
Bukan hanya itu, 14 siswa JFA saat ini juga sedang berlatih di akademi klub sepak bola Valencia, Spanyol. Mereka mengikuti seleksi untuk bisa masuk di klub junior di sana. Selama ini JFA dan Valencia memang menjalin program kerja sama.
Karena itu, Jaja \"panggilan akrab Suharja\" merasa bersyukur mendapat jalan via JFA ini. Bagi dia, beasiswa ke JFA tersebut mengejutkan. Boro-boro bermimpi masuk SSB, memiliki sepatu bola baru saja susah.
\"Daripada duitnya untuk ikut SSB, lebih baik untuk makan. Orang tua saya harus bekerja keras agar anak-anaknya bisa makan,\" ungkap Jaja saat ditemui di tempat latihan JFA, lapangan Wing I Paskhas, Selasa lalu (22/4).
Kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan itu membuat pendukung setia Persija Jakarta tersebut hanya bisa pasrah. Meski begitu, dia tetap bisa menyalurkan hobi main bolanya tersebut. Hanya, tempat mainnya seadanya, yakni lapangan sekadarnya di kawasan Cipinang. Namun, berkat ketekunan dan kerja kerasnya dalam berlatih, skill Jaja pun terasah. Karena itu, jangan heran bila dia kemudian terpilih sebagai anggota tim SCWC.
Sebelum ikut seleksi SCWC, Jaja menjadikan sepak bola sebagai kegiatan rutin yang dimainkan setiap waktu senggang. Sebab, sejak tak lagi bersekolah selepas lulus sekolah dasar (SD), dia harus berjibaku dengan kerasnya kehidupan ibu kota.
\"Saya SD di Karawang, di kampung. Setelah itu saya ikut orang tua di Jakarta. Saya sempat jadi anak jalanan, jadi pemulung, sampai setahun lalu saya ditawari pekerjaan oleh teman,\" ucapnya.
Untuk membantu orang tuanya memenuhi kebutuhan sehari-hari, Jaja bersama teman-temannya mendapat \"job\" keliling dari kompleks ke kompleks perumahan untuk mencari barang bekas alias menjadi pemulung. Sudah ada yang menampung hasilnya. Seminggu Jaja bisa mendapat penghasilan yang lumayan, hingga Rp 100 ribu. \"Waktu itu saya niatnya bantu orang tua. Uang yang saya dapat, selain untuk jajan, saya berikan ke ibu,\" ucapnya.
Ayah Jaja, Kudus, hanyalah pedagang sayur keliling yang setiap hari harus blusukan dari kampung ke kampung. \"Kalau bagus laku semua bisa dapat lebih dari Rp 50 ribu. Tapi, itu jarang, biasanya laku Rp 30 ribuan. Itu sedikit untuk kebutuhan hidup di Jakarta. Karena itu, saya lalu ikut bantu orang tua dengan jadi pemulung,\" terang anak pertama di antara tiga bersaudara tersebut.
Karena kondisi yang serba kekurangan itu pula, Jaja harus mengikhlaskan adik pertamanya meninggal beberapa tahun lalu lantaran sakit. Orang tuanya tak punya biaya untuk mengobatkan ke dokter. Saking miskinnya, kini Jaja terpaksa ikut orang tua angkat. Orang tuanya sendiri sudah tidak mampu membiayai hidup anak-anaknya.