Bersama seorang guru peserta SM-3T yang lain dan beberapa muridnya, dia jalan kaki selama satu jam menuju atas bukit itu. Selain harus membawa laptop, dia juga mesti membawa setumpuk dokumen kepegawaian dan sejenisnya.
Begitu sampai di atas bukit, Ardiansyah membayangkan akan dengan segera mendapatkan sinyal internet. Tetapi, untung tak dapat diraih, malang tak dapat dibendung. Setelah laptop dihidupkan, ternyata baterainya tinggal sedikit. Lemaslah dia.
\"Saya paksa-paksakan tetap tidak ngangkat. Baterainya benar-benar tidak cukup untuk bisa mengoperasikan laptop,\" ujarnya.
Perjalanan yang melelahkan itu memberikan pelajaran berharga bagi Ardiansyah. Sebab, dia harus pulang tanpa hasil apa-apa. Dia akhirnya turun bukit dengan lunglai.
Meski demikian, Ardiansyah tidak putus asa untuk mencoba lagi ke atas bukit. Hanya, setiap kali menuju ke puncak itu, dia sudah menyiapkan segala sesuatunya. Termasuk soal memenuhi baterai laptopnya. Untuk mengisi baterai, dia harus menggunakan listrik di desanya yang dihidupkan dengan sebuah genset ukuran sedang.
\"Itu pengalaman yang tak terlupakan dalam hidup saya,\" tegas lajang itu.
Dengan kondisi medan dan pekerjaan yang begitu berat, Ardiansyah dan para peserta program SM-3T lainnya mendapat gaji Rp 2,5 juta dan uang kesehatan Rp 100 ribu per bulan. Penghasilan itu relatif kecil jika dibandingkan dengan penghasilan guru di Jakarta yang bisa mencapai Rp 8 juta per bulan.
Padahal, biaya hidup di Jakarta dan di Sorong tidak jauh berbeda. Seikat sayur kangkung di Sorong dihargai Rp 5 ribu. Harga 1 liter bensin eceran bisa mencapai Rp 12,5 ribu.
\"Uangnya harus dicukup-cukupkan. Tapi, sejauh ini, alhamdulillah, cukup,\" ujarnya.
Kebutuhan paling mendasar dan paling banyak, kata Ardiansyah, adalah air minum. Mereka harus berbelanja secara lebih. Pasalnya, Sorong termasuk wilayah sulit air. Air bersih didapat dari air tadah hujan yang turun pada musim hujan. Air dari langit itu ditampung di tempat-tempat penampungan yang telah disiapkan. Untuk kebutuhan mencuci dan lainnya, air hujan ditampung di kolam tanah.
Meskipun hidup di tengah keterbatasan, Ardiansyah siap menjalani ikatan kontrak mengajar selama 12 bulan. Bahkan, dia siap jika kontraknya diperpanjang. \"Melihat semangat para siswa yang terus meningkat, saya jadi betah,\" paparnya.
Lain lagi cerita Rafika, peserta program SM-3T yang ditempatkan di SDN Maralol, Kecamatan Salawati Selatan, Kabupaten Sorong. Alumnus FKIP UNM itu mengajar di kawasan yang lebih terpencil lagi daripada di Ninjemor.
\"Untuk menjangkaunya, kita harus naik kapal kecil selama dua jam. Pokoknya lebih terpencil dibanding di sini (Ninjemor),\" kata Rafika.
Pada awal program, gadis 23 tahun itu tidak langsung mengajar. Dia memilih lebih dulu mengenalkan Indonesia kepada para siswa dan masyarakat setempat. Menurut Rafika, banyak anak di kampungnya yang tidak tahu nama presiden Indonesia.
\"Sebenarnya, ada guru yang mengajar di sini. Tapi, mereka hanya sehari di sekolahan dan sebulan di kota,\" ungkap Rafika sembari tersenyum.
Dengan kondisi itu, pembelajaran di kelas jelas seadanya dan formalitas belaka. Tak heran, para siswa tidak tahu nama presidennya atau perihal keindonesiaan lainnya.