MK Hapus Kewenangannya Sendiri

Selasa 20-05-2014,00:00 WIB

JAKARTA - Ke depan, sengketa perkara pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak akan lagi ditangani oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya MK sendiri telah menghapus kewenangannya untuk menyidangkan sengketa pilkada.

      Di dalam putusannya, hakim konstitusi menilai bahwa Pasal 236 C Undang Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) dan Pasal 29 Ayat 1 huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 dianggap inkonstitusional. \"Menyatakan, mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,\" kata Ketua Majelis Hakim MK Hamdan Zoelva dalam persidangan, kemarin (19/5) di ruang sidang MK.

      Pihaknya menilai, norma pasal 236 C UU Pemda yang menyebut, pengalihan hak penanganan sengketa pilkada dari Mahkamah Agung (MA) ke MK justru mengaburkan fungsi lembaga tersebut. Padahal kewenangan dan tugas MK bersifat limitatif, tak bisa ditambah atau dikurangi kewenangannya.

      Namun untuk menghindari adanya kevakuman serta ketidakpastian hukum pasca putusan tersebut, Hamdan menyatakan bahwa MK tetap akan menyidangkan sengketa pilkada sampai ada revisi terhadap UU tersebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah, khususnya terkait dengan siapa lembaga yang berwenang untuk memutus sengketa pilkada.

      \"Kalau soal kewenangan penentuan lembaga persidangan yang tangani sengketa pilkada, kami serahkan ke DPR. Itu terserah mereka sebagai pembuat UU, apakah kembalikan ke MA atau buat lembaga baru. Kami tidak ada komunikasi ke DPR. Kalau putus, putus saja,\" ujar Hamdan usai persidangan.

      Dia juga menegaskan bahwa putusan hakim konstitusi telah berkekuatan hukum tetap (incracht) dan tak bisa diganggu gugat. Dia juga menperingatkan DPR agar tidak coba-coba membuat norma baru yang justru mengembalikan mandat untuk menangani sengketa Pilkada tersebut ke MK. Hamdan mengingat, hal tersebut pernah dilakukan DPR dalam merevisi UU terkait penghitungan cepat (quick count) yang akhirnya dibatalkan hingga lebih dari sekali oleh MK.

      \"Contoh saja UU tentang hitung cepat. Nasibnya akan sama seperti itu di MK. Kalau mengembalikan norma itu lagi berarti melawan konstitusi,\" tegas Hamdan.

      Di dalam amar putusan, hakim konstitusi Patrialis Akbar juga menguatkan bahwa pembuat UU memandang pengertian pemilu secara luas dengan memaknai pilkada sebagai pemilihan umum (pemilu). Padahal, menurutnya, maksud dari pemilu itu sendiri adalah pemilihan legislatif (pileg) serta pemilihan presiden dan wakil presiden yang digelar dalam kurun waktu 5 tahun sekali.

      \"Kalau pilkada masuk dalam sengketa MK, maka pemilu bukan 5 tahun sekali melainkan berkali-kali. Ini sama saja memperluas makna pemilu,\" ujar Patrialis.

      Dia menambahkan, berdasarkan putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014, MK memiliki pendirian yang bersifat limitatif, artinya kewenangannya tidak bisa dikurangi atau ditambah lagi. Dengan memasukan kewenangan untuk menuntaskan sengketa pilkada sebagai bagian dari tugas MK, maka MK sudah melenceng dari fitrahnya.

      \"MK ini dibentuk atas kebutuhan uji materi atas UU, kemudian diberi kewenangan untuk mengadili sengketa lembaga negara, perselisihan pemilu dan membubarkan partai politik,\" ujar dia.

      Kendati telah diputus demikian, amar putusan tersebut diwarnai oleh perbedaan pendapat di kalangan para hakim konstitusi atau disenting opinion. Terdapat 3 hakim yang punya pandangan lain. Mereka adalah \"Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Ahmad Fadlil. Ketiga hakim konstitusi tersebut tidak menganggap kewenangan MK dalam menangani sengketa pilkada adalah inkonstitusional.

      Arief mengatakan bahwa berdasarkan putusan MK Nomor 72-73/PUU-II/2004 mahkamah berpendapat, DPR dapat memberikan tafsir pilkada. Kalau mereka memasukan pilkada dalam pemilu sesuai UU No 22 Tahun 2007, maka hal tersebut menjadi keputusan pembuat UU, dalam hal ini adalah pemerintah dan DPR.

      \"Apalagi dipertegas dalam UU No 12 Tahun 2008, dimana menyebutkan, terdapat pengalihan kewenangan dari Mahkamah Agung (MA) ke MK dalam menangani sengketa pilkada,\" ujar Arief.

      Namun Hamdan menegaskan bahwa keputusan tersebut akhirnya diketok karena telah memperoleh persetujuan mayoritas hakim konstitusi. \"Artinya ada dinamika di MK. Tapi kami tetap menggunakan yang terbanyak,\" ucap Hamdan.

Tags :
Kategori :

Terkait